fikih

Tahun politik aromanya telah tercium. Pilpres 2024 mulai menjadi obrolan utama. Di media massa, di warung kopi, di pojok-pojok Kampus, bahkan menjadi obrolan ibu-ibu di pasar. Semua gegap gempita menyambut pesta demokrasi lima tahunan pilpres. Entah semangat itu dilatari karena akan ada banyak “uang politik” yang akan diedarkan atau semangat memimpikan pemimpin ideal? Kita tidak tahu.

Namun melihat geliat perkembangan politik kekinian, ada beberapa pihak yang cemas dan khawatir. Terlebih, orang-orang yang berakal sehat. Ada gejala politik identitas menguat pada gelaran Pilpres mendatang. Terlihatnya pajangan empat bendera tauhid mirip bendera HTI menjadi indikator kecemasan tersebut. Tetapi, semoga, tidak ada konflik sektarian atau ego sektoral dalam Pilpres nanti.

Terlepas dari itu semua, tulisan ini sedikit akan mengulas tentang kriteria pemimpin dalam Islam. Harapannya, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia mampu berpikir cerdas ketika akan memilih seorang pemimpin atau presiden.

Dalam Islam, keberadaan seorang pemimpin adalah suatu keniscayaan. Dalam term fikih disebut “wajib bil aqli aw bis syar’i”. Dari sudut pandang dalil agama dan dalil akal, pemimpin harus ada. Seorang pemimpin berfungsi sebagai mediasi untuk segala kepentingan masyarakat banyak yang tentu berbeda-beda, serta mengatur kemaslahatan masyarakat seluruhnya untuk menciptakan keadilan. Karena itu, Islam menetapkan kriteria seorang pemimpin.

Syarat Pemimpin

Menurut Al Maududi, pemimpin (imam) harus memenuhi empat syarat. Pertama, harus orang Quraisy. Kedua, orang merdeka (bukan budak), dewasa, berakal, berilmu dan adil. Ketiga, memiliki kecakapan dalam politik dan mengerti tentang had (hukuman). Dan, keempat, orang nomor satu dalam hal ilmu dan agama diantara sekian banyak rakyatnya.

Baca Juga  Hukum Perempuan Pergi Haji Tanpa Mahram, Bolehkah?

Dari empat syarat di atas, hanya satu yang janggal. Syarat pemimpin harus dari golongan suku Quraisy sepertinya harus dibicarakan kembali. Karena di belahan dunia ini ada ribuan suku, bukan hanya suku Quraisy. Dalam konteks Arab awal Islam mungkin ia, tapi konteks seperti keindonesiaan, tidak bisa. Namu, tiga syarat yang lain memiliki relevansi dengan politik di negara manapun.

Sementara menurut al Mawardi dalam karyanya Ahkamus Sulthaniyah,  seorang pemimpin harus memenuhi tujuh syarat.

Pertama, pemimpin harus adil. Syarat ini menurut al Mawardi sangat fundamental, karena tanpa ‘adalah, kepemimpinan tidak ideal.

Kedua, memiliki pengetahuan yang luas. Dalam berjihad dan berijtihad menentukan kebijakan, ilmu agama dan ilmu politik mutlak diperlukan.

Ketiga, memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna. Dengan begitu, pemimpin dapat mengidentifikasi setiap masalah dengan teliti untuk menentukan arah kebijakannya.

Keempat, memiliki kondisi fisik yang sehat.

Kelima, memiliki kearifan dan wawasan yang memadai untuk mengatur negara, mengatur rakyat dan segala kepentingan umum.

Keenam, memiliki keberanian melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh.

Ketujuh, berasal dari suku Quraisy.

Yang perlu diketahui, penetapan syarat-syarat pemimpin, baik oleh Al Maududi, al Mawardi di atas, tentu berakar dari ijtihad masing-masing untuk menentukan dan menemukan pemimpin ideal. Dengan demikian, umat Islam mampu menentukan kriteria seorang pemimpin di negara masing-masing. Baik kriteria itu dikurangi, atau ditambah.

Bagaimanapun, firman Allah tidak sedikit, demikian juga hadits Nabi. Dalam dua sumber hukum itu, sebagian ada unsur politik yang menyertai berupa kiasan atau majas. Kemudian ulama yang memiliki kompetensi dalam bidang tafsir dan hadits melakukan eksplorasi menentukan kriteria pemimpin dalam Islam. Termasuk Al Maududi dan al Mawardi.

Baca Juga  Cara Mandi Besar yang Harus Diperhatikan

Kontekstualisasi Kriteria Pemimpin

Kriteria pemimpin yang dirumuskan oleh Al Maududi dan al Mawardi semata-mata hanya “madzinnah” atau tempat dugaan kuat untuk menemukan pemimpin ideal. Semakin syarat-syarat pemimpin itu terpenuhi, semakin sempurna seorang pemimpin dan semakin dekat harapan terbentuknya negara yang adil dan makmur.

Al Maududi dan al Mawardi tidak mensyaratkan secara tegas seorang pemimpin harus muslim.

Penjelasan tentang apakah pemimpin harus muslim ditulis oleh Dr. Hudaibi dalam Ikhwanul Muslimin; Du’atul Qudlat. Dalam “Negara Islam” pemimpin berfungsi sebagai pengganti Nabi; untuk urusan agama dan urusan dunia. Negara Islam adalah negara yang menjadikan Islam sebagai agama negara dan didasarkan atas prinsip-prinsip syari’ah. Karenanya, pemimpin harus muslim. Non muslim tidak memiliki hak politik; hak untuk memilih atau dipilih.

Dr. Hudaibi dan yang sealiran mendasarkan kriteria pemimpin harus muslim ini pada al Qur’an surat al Maidah ayat 51. Mereka menafsiri kata “Auliya” dalam ayat ini dengan “pemimpin kalian”. Padahal dalam kitab-kitab tafsir otoritatif, mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata aulia  dengan “teman kepercayaan kalian”.

Tentang Negara Islam, Hudaibi dkk tampaknya lebih mengarah kepada bentuk negara khilafah. Kalau konsep ini yang dimaksud, maka harus ditinjau ulang mengingat Nabi tidak mendasarkan Negara Madinah pada hukum formal agama Islam berdasarkan al Qur’an dan hadits. Negara Madinah didasarkan pada Piagam Madinah, Pancasila kalau di Indonesia.

Khilafah adalah semata hasil ijtihad. Bentuk negara khilafah merupakan salah satu sistem politik, sama dengan demokrasi dan lain-lain. Pada tulisan berikutnya penulis akan membahas bentuk negara dalam Islam, Insyaallah.

Baca Juga  Perhatikanlah 3 Hal Yang Dikhawatirkan Rasulullah

Dengan demikian, sejatinya Al Maududi dan al Mawardi memang sengaja tidak memasukkan muslim sebagai syarat seorang pemimpin. Bisa jadi karena sudah include dalam kriteria yang dibuat, atau memang pemimpin boleh dari latar agama apa saja senyampang memiliki sifat-sifat yang telah ditetapkan.

Tentang pemimpin harus dari suku Quraisy, sepertinya Maududi dan Mawardi lebih berorientasi pada politik lokal Arab masa awal Islam. Karena, disamping Nabi dari suku Quraisy, otoritas ilmu agama ada pada tangan mereka.

Namun, beberapa dekade berikutnya, otoritas ilmu keislaman justru berada di tangan para ulama non Quraisy, bahkan non Arab. Ada dugaan, syarat pemimpin harus dari suku Quraisy untuk melanggengkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Kriteria pemimpin dalam Islam secara subtansial memang telah diberikan petunjuk berdasarkan al-Quran dan hadist. Namun, kriteria seperti syarat-syarat yang diungkapkan oleh al Maududi dan al Mawardi di atas tentu bagian dari ijtihad para ulama dalam menukil dalil dan kondisi zaman.

Dalam konteks keindonesiaan syarat-syarat pemimpin tersebut bisa bertambah atau pun dikurangi seperti syarat dari Quraisy tergantung pada semangat dan kondisi zamannya. Bisa pula bisa ditambahkan seperti memiliki wawasan kebangsaan yang baik, setia pada NKRI dan pro Pancasila karena Amanah pemimpin yang harus menjaga kedaulata negara.

Kesimpulannya, pemimpin adalah orang yang diberikan amanah untuk mengelola kepentingan ammah (publik). Karena itulah, persoalan keadilan, pengetahuan dan kekuatan intelektual dan fisik menjadi penentu utama dalam melihat kriteria pemimpin.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.