Jalanhijrah.com- Siapa yang tidak kenal Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pemimpin bijaksana nan berwibawa itu mencatatkan kepemimpinan gemilang selama menjadi khalifah kaum muslim. Kisah termasyhur darinya ialah di masa pemerintahannya rakyat hidup makmur dan sejahtera. Tidak ditemukan orang yang berhak menerima zakat kala itu. Beliau bahkan digelari Khulafaurasyidin yang kelima.
Ada kesederhanaan dalam hidup Umar bin Abdul Aziz. Di kala ia menjadi khalifah, kehidupan mewah dan megah bisa saja diraihnya. Namun, khalifah tidak memilih itu. Beliau memilih hidup yang sangat jauh dari kemewahan. Bukan saja dirinya, istrinya pun memilih jalan yang sama. Istri yang senantiasa mendampinginya saat mandat kekuasaan sebagai pemimpin kaum muslim dijabatnya.
Sosok Fathimah
Ia adalah Fathimah binti Abdul Malik al-Umawiyah al-Qurasyiyah, istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang alim dan mujtahid. Meski menjadi istri amirulmukminin, ia tidak bergelimang pakaian mewah, gelang, dan berbagai perhiasan mahal. Seorang perempuan yang meninggalkan kenikmatan dan kemegahan khalifah di sekelilingnya.
Ia merasa senang dengan kehidupan yang menjadi pilihan suaminya untuk dirinya dan anak-anaknya. Sejak dilahirkan, Fathimah binti Abdul Malik tumbuh bersama dengan naungan kemuliaan. Ada 12 orang mahramnya yang semuanya adalah khalifah, yaitu ayahnya, kakeknya, suaminya, saudara-saudaranya dan anak-anak dari saudara-saudaranya semuanya adalah khalifah.
Di lingkungan pemerintahan para khalifah, ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai keponakan yang sangat disayang oleh Abdul Malik. Ia memberikan perhatian lebih kepada Umar karena kecerdasan dan pemahamannya terhadap ilmu.
Suatu hari, Abdul Malik berkata kepada keponakannya, Umar, “Aku sungguh telah menikahkan putriku Fathimah dengan dirimu.” Umar menjawab, “Semoga Allah Swt. menyampaikan harapanmu wahai amirulmukminin. Engkau telah mencukupi semua permintaan dan engkau telah banyak memberi.”
Banyak pembantu dan orang-orang dekat Abdul Malik berkata, “Ini adalah ungkapan yeng ia pelajari dan ia laksanakan.” Umar menemui Abdul Malik yang berkata, “Wahai Umar! Bagaimana dengan nafkahmu?” Umar menjawabnya dengan jawaban yang membuat Abdul Malik kagum, “Di antara dua keburukan wahai amirulmukminin.” Abdul Malik bertanya,”Apa gerangan kedua hal itu?” Ia menjawab, “Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan ini) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al-Furqon: 67)
Kehidupan Rumah Tangga Fathimah
Setelah menikah dengan Umar bin Abdul Aziz, Fathimah hidup bersama suaminya dengan gelimang kemewahan. Ia pindah bersama suaminya ke Madinah saat Umar diangkat sebagai Gubernur di sana. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai dua anak bernama Ishaq dan Ya’qub.
Pada 99 Hijriah, kehidupan Fathimah berubah drastis. Perempuan yang terbiasa hidup dalam kenikmatan itu meninggalkan semuanya dalam sekejap. Suaminya dibaiat menjadi khalifah meneruskan kepemimpinan khalifah sebelumnya. Saat itu pula kehidupan baru Fathimah sebagai istri khalifah dimulai.
Ia rela meninggalkan segala kenikmatan yang dimiliki demi pengabdian abadi. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberikan pilihan kepada istrinya untuk memilih masa depan dan tujuannya nanti. Ini karena ia sekarang merasakan tanggung jawab yang membebaninya dari segala sesuatu bahkan dari istrinya sendiri, Fathimah.
Ia melantunkan sebuah bait,
“Telah datang beban kesibukan
Dan engkau tinggalkan jalan keselamatan
Waktu luang telah pergi sehingga tidak ada lagi luang bagi kami
Hingga hari kiamat nanti”
Fathimah memilih tinggal di sisi suaminya bersama kesederhanaan yang ia wajibkan pada dirinya. Fathimah mengomentari tentang suaminya, “Ia termasuk tokoh besar Quraisy dengan kendaraan yang paling mewah, pakaian yang paling lembut, makanan yang paling lezat sebelum memegang kepemimpinan Khilafah. Namun, ketika memimpin pemerintahan ia mengenakan pakaian belacu dan beludru. Barangkali ia hanya meminyaki rambutnya dengan air dan tidak menyimpan satu helai pakaian. la juga mengangkat satu budak atau pelayan sejak ia memegang pemerintahan hingga hari kematiannya. Inilah kehidupannya.”
Fathimah menanggalkan kemewahan demi kesederhanaan. Mencari rida Allah dan kehidupan akhirat yang kekal.
Ibnu Abdil Hakam menuturkan bahwa ada seorang perempuan datang dari Irak menemui Umar bin Abdul Aziz. Ketika sampai di rumahnya, ia bertanya, “Apakah amirulmukminin mempunyai penjaga pintu?” Orang-orang menjawab, “Tidak. Masuklah jika engkau inginkan.”
Perempuan itu masuk menemui Fathimah yang sedang duduk di rumahnya. Di tangannya ada kain yang sedang ia rajut. Lalu ia memberikan salam. Fathimah pun menjawab salamnya dan mengatakan kepadanya, “Masuklah.” Saat perempuan itu duduk, ia mengangkat pandangannya. Ia tidak melihat benda berharga atau yang menarik perhatian di rumahnya.
Ia pun heran dan berkata, “Sesungguhnya saya datang untuk merawat rumahku lebih dari rumah runtuh ini!” Fathimah berkata padanya, “Sesungguhnya runtuhnya rumah ini laksana gedung-gedung terbaik rumah orang sepertimu.”
Umar datang lalu masuk ke halaman rumah. Ia menoleh ke arah sumur di ujung halaman rumah lalu meraih timba yang ia tuangkan ke tanah liat yang ada di dalam rumah. Pandangannya sering tertuju ke arah Fathimah. Perempuan asing itu berkata kepada Fathimah, “Andaikan engkau menyingkir dari pandangan tukang pengaduk tanah itu. Saya melihatnya memandangimu terus-menerus.”
Fathimah menjawab, “Ia bukan seorang tukang pengaduk tanah. Ia adalah amirulmukminin.” Kemudian Umar datang seraya mengucapkan salam. Ia pun menunaikan kebutuhan perempuan tersebut.
Kemudian perempuan itu pulang dengan terus menguntaikan doa untuk sang khalifah. Ia pun kagum pada istrinya Fathimah yang berkenan menjahit bajunya sendiri, sementara ia sangat mampu mendapatkan kenikmatan dunia sebanyak yang ia inginkan. Siapa yang percaya jika istri seorang amirulmukminin hanya mempunyai satu helai pakaian, begitu juga suaminya.
Maslamah bin Abdul Malik saudara Fathimah datang. Ia lalu melihat baju suaminya yang kotor. Ia berkata pada adik perempuannya, “Berilah ia pakaian selain baju ini!” Fathimah terdiam. Lalu Maslamah berkata untuk kedua kalinya, “Berilah pakaian amirulmukminin dengan selain baju ini atau engkau mencucinya.”
Ia menjawab, “Sungguh demi Allah, ia tidak mempunyai baju selain itu.” Baju tersebut mempunyai tambalan di bagian saku, baik dari depan maupun belakang. Ini pula yang menjadi kebanggaan Fathimah. Sebab laki-laki tidak lagi diukur dengan baju yang dikenakannya, tetapi dengan apa yang telah ia berikan.