Jalanhijrah.com-Muktamar 34 Nahdlatul Ulama di Lampung penting bagi upaya mendorong kontra ideologi ekstrimisme yang berkembang di dunia. Alasannya, karena gagasan besar perhelatan akbar kali ini menggarisbawahi peradaban dunia.
Tema sentral ini menjadi relevan di tengah dinamika aksi terorisme global yang diwarnai berbagai motif; agama, white supremacy; etno-nasionalisme, neo nazi dan sebagainya. Tak hanya dunia Islam yang menjadi ‘target’ dari aksi terorisme saat ini, dunia Baratpun tak dapat menghindarinya. Tentunya aksi terorisme tersebut tumbuh, beradaptasi dan berkembang mengikuti varian ideologi yang ada di tiap wilayah tersebut.
Jejak online chalipate dan propaganda di era pandemi bisa dirasakan efeknya kendati klaim teritorial ISIS runtuh. Aksi terorisme yang berafiliasi ISIS di beberapa negara di kawasan Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara, masih sangat jelas memperlihatkan bahwa aksi ini masih sangat massif dan serius bagi komunitas global.
Kompeksitas Dinamika Terorisme
Konflik Afghanistan seturut dengan terkuaknya jalinan relasi antara al-Qaeda dan JI, disusul dengan operasi jaringan terorisme sejak saat itu hingga tahun 2009, telah memperlihatkan adanya pola hubungan yang lebih. Demikian pula dengan ISIS di Suriah (pada tahun 2017), telah membuka tabir adanya kesepahaman dalam pola rekrutmen anggota, pendanaan aksi dan organisasi teror. Singkatnya terorisme di dunia, termasuk Indonesia, terjadi karena adanya komposisi tiga unsur, yaitu; kesepahaman ideologi, adanya sumber daya manusia dan ketersediaan logistik.
Saat ini, Indonesia mengalami situasi yang berbeda, setidaknya dengan dua dekade sebelumnya. Organisasi Jamaah Islamiyah saat ini sudah sangat adaptif dengan dinamika politik, hukum dan keamanan di negeri ini. Serangan terorisme Jamaah Islamiyah yang marak di masa lalu, digantikan oleh ISIS. JI pun mengubah pola strategi gerakan mereka dengan metode tanzim, salah satu implementasinya adalah mengagendakan penguasaan teritorial dan penyusupan ke lembaga, baik negara maupun non negara.
Pelibatan perempuan sebagai pelaku utama aksi terorisme, juga menjadi tren baru dewasa ini. Keterlibatan sejumlah perempuan dalam aksi terorisme, baik yang dipicu oleh relasi kuasa maupun motif pribadi otonom, adalah tantangan yang menunggu di masa depan.
Lalu apa yang dapat dilakukan NU jelang satu abad usia di negeri ini, selayaknya NU menjadi garda terdepan ormas Islam yang mau dan mampu merespon tipologi gerakan radikalisme dan terorisme beserta pola pergeserannya di Indonesia.
Formulasi Gerakan Sosial
Hal ini didasarkan pada collective memory, collective concisiousness dan collective action, dalam pandangan Charles Tilly adalah modal utama dalam mengkonstruksi sebuah gerakan organisasi untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, NU dengan sangat meyakinkan mampu mencapai cita-cita muasisnya.
NU, organisasi yang memegang teguh prinsip Tawazun, Tawassuth, Tasamuh dan Itidal, memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan tatanan sosial, terutama dalam etos kebhinekaan negara kesatuan. Fase selanjutnya adalah bagaimana ingatan bersama tersebut membentuk kesadaran bersama bahwa negara secara utuh perlu dijaga dengan bersama demi kebermanfaatan.
Kesadaran menjaga negara dari beragam dinamika ancaman, perlu diejawantahkan dalam berbagai aktifitas. Apabila dikaitkan dengan persoalan radikalisme dan terorisme, maka NU perlu memiliki agenda kerja yang riil yang diperuntukkan bagi penghambatan pertumbuhan paham radikalisme, ekstremisme dan terorisme di Indonesia.
Tiga unsur dalam gagasan Charles Tilly untuk menggerus radikalisme dan terorisme oleh Jamiyyah NU, tentu belum akan sempurna tanpa adanya kemampuan NU sendiri dalam melihat konteks global terorisme, yaitu memandang isu radikalisme dan terorisme sebagai transnasional organized crime dan cross border movement.
Pada tataran domestik, NU memiliki tantangan untuk memoderasi pemikiran ekstrim di kalangan masyarakat. Hal ini adalah yang terpenting untuk diprioritaskan NU dalam mengimplementasikan kesungguhannya menjaga negeri ini mengingat hampir bisa dipastikan bahwa lebih dari 90 persen pelaku terorisme memiliki ideologi ekstrim dan radikal yang menginginkan berdirinya negara Islam.
Selain kerangka ideologis, hal lain yang harus juga mendapat perhatian adalah menyoal kerangka separatisme sebagai bagian dari terorisme. NU tetap bisa berperan sebagai fasilitator dalam persoalan tersebut, sebagaimana dulu Gus Dur pernah melakukannya saat menduduki jabatan tertinggi di negeri ini melalui pendekatan dialog (soft approach), dan hal tersebut sah dalam mekanisme UU Terorisme.
Visi Stratejik dan Global NU
Dinamika tantangan global dan domestik menjadikan muktamar kali ini sangat relevan untuk menggaungkan peradaban dunia. Sederet problematika konflik di berbagai negara menyisakan masalah kemiskinan, kesenjangan, ekstrimisme dan pengungsi, yang patut direspon oleh NU melalui kerja nyata, bukan sekedar retorika belaka.
Peran diaspora NU menjadi unsur yang tak boleh dipisahkan dalam mewujudkan upaya tersebut. Kapitalisasi PCI NU, yang ditempatkan di berbagai negara, sudah seharusnya tak lagi diposisikan sebagai elan vital sumber daya manusia warga NU saja, akan tetapi perlu juga didorong untuk melakukan inovasi diplomasi antar warga bangsa, dalam perannya sebagai unsur penggerak politik peradaban dunia dan ekonomi Nahdliyyin di level global.
Jika menilik kembali Tilly, tentunya NU saat ini hanya membutuhkan energi positif untuk merealisasikannya, karena warga NU sudah tercerahkan, terbukti memiliki kesadaran dan teruji mampu bergerak, hanya tinggal menunggu titah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.