Buya Hamka dan Negara

Jalanhijrah.com-Buya Hamka, sebagai seorang ulama yang pernah berkecimpung di dunia politik dengan masuk di Masyumi dan pernah menjadi wakil partai itu dalam Konstituante tahun 1955, memiliki pandangan keislaman serta politik yang sangat menarik. Salah satu pemikiran beliau yang perlu untuk disimak ialah tentang sistem kenegaraan. Pandangan itu beliau tuangkan secara gamblang di buku beliau ‘Studi Islam’. Buku ini adalah himpunan dari lima brosur kecil Buya Hamka yang pernah tersiar secara terpisah-pisah (ia tulis sekitar tahun 70-an), yang berasal dari polemik, ceramah, dan artikel dalam majalah Panji Masyarakat, yang pengarangnya dengan gaya popular membahas soal-soal kenegaraan dan cita-cita Islam. Tulisan Buya Hamka ini ditulis ketika ramai isu modernisasi dan sekularisasi diperdebatkan melalui berbagai publikasi lalu dibukukan.

Tentang Buku ‘Studi Islam’

Buku ini pada dasarnya adalah kumpulan brosur kecil yang Buya Hamka tulis untuk menegaskan pandangan beliau tentang kenegaraan. Lebih lanjut lagi, tulisan ini banyak menyebut nama Syekh Ali Abdurraziq, penulis buku Al Islamu wa Ushulul Hukmi yang terbit pada tahun 1926 di Mesir. Syekh Ali Abdurraziq dalam bukunya itu menjelaskan bahwa untuk menerapkan syariat Islam itu tidak perlu negara. Atau negara yang berlandaskan agama Islam itu tidak relevan lagi dengan zaman. Buku Syekh Ali itu di Indonesia diterjemahkan oleh Tengku Idie dalam harian Waspada. Karena merasa bahwa pemikiran Syekh Ali Abdurraziq yang disebarkan oleh Tengku Idie itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam, Buya Hamka kemudian berinisiatif membantahnya dengan menulisnya di Majalah Panji Masyarakat dan kemudian dibubukan menjadi buku yang berjudul ‘Studi Islam’ ini.

Baca Juga  Maria Geoppert Mayer: Bukti Perempuan Unggul di Dunia Sains

Buya Hamka dan Negara

Buya Hamka dalam buku itu menyatakan bahwa agama serta negara itu tidak bisa dipisahkan. Banyak landasan yang beliau utarakan untuk menguatkan pendapat ini. Selain dengan dalil dari Al Qur’an maupun hadits, beliau mengajak para pembaca untuk mencerna pemikiran beliau secara logika. Contohnya ialah perihal amar makruf nahi mungkar.

Beliau menjelaskan bahwa umat Islam itu wajib untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana yang tertuang dalam ayat 104 dari surat Ali Imran. Beliau menjelaskan, amar makruf nahi mungkar itu tidak bisa berjalan dengan sempurna sebelum diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan makruf dan apa yang dimaksud dengan mungkar. Makruf itu ialah apa yang dianggap baik oleh masyarakat dan mungkar itu apa yang diingkari oleh masyarakat. Untuk menjaga yang makruf tetap makruf dan yang mungkar tetap mungkar, perlu adanya kekuatan. Nah, kekuatan itulah yang disebut dengan kekuasaan/pemerintahan.

Buya Hamka juga menguatkan pendapat beliau dari segi sosiologi. Manusia itu diciptakan untuk selalu bermasyarakat atau bersosial dengan orang lain. Kecenderungan bersosial itu biasanya dilandaskan atas suatu kesamaan yang mendasari setiap individu. Bagi seorang muslim, tentu karena landasan keimanan itulah, hubungan sosial antar mereka menjadi kuat. Ketika sesame muslim yang mempunyai visi yang sama itu membentuk suatu masyarakat, maka diperlukan suatu aturan demi keberlangsungan dan ketertiban masyarakat tersebut. Aturan itu tidak bisa terbentuk apabila tidak dilindungi oleh suatu negara. Oleh karena itu lah, negara menjadi penting.

Buya Hamka dan Khilafah

Baca Juga  Hati-Hati! Inilah Ciri-ciri Teroris Berkedok Agama

Dalam tulisannya, Buya Hamka sangat menyayangkan hilangnya Khilafah Turki Ustmani yang pada saat itu menjadi suatu simbol persatuan Islam. Buya Hamka mengatakan,”Pada waktu itu, diakui bahwa lambang pemersatu kesatuan Umat Islam ialah Ka’bah (Masjidil Haram), Madinah Al Munawwarah (tempat Rasulullah dikubur) dan Masjidil Aqsha (Palestina) serta yang berupa seorang manusia yaitu seorang Khalifah (Buya Hamka, Studi Islam, hlm. 17). Beliau juga bercerita bahwa setelah runtuhnya Khilafah Ustmani di tahun 1924, ada usaha dari ulama-ulama Islam untuk melakukan muktamar dengan agenda utamanya membahas usaha pengembalian Khilafah.

Muktamar itu rencarannya akan dilaksanakan tahun 1925 di Mesir. Dari Indonesia, ada tiga organisasi yang diundang. Muhammadiyah yang diwakili oleh KH. Mas Mansyur, Persis yang diwakili oleh KH. Ahmad Syurkati dan PGA Sumatera Barat yang diwakili oleh ayahanda Buya Hamka, Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Namun, Muktamar itu akhirnya gagal dilaksanakan karena Saad Zaghlul Pasya yang pada saat itu menjadi penguasa Mesir dan menjadi penyokong muktamar ini harus lengser akibat gonjang-ganjing yang terjadi dinegaranya pada saat itu.

Buya Hamka sendiri secara tegas menyatakan bahwa beliau adalah salah satu ulama yang mengemban cita-cita kembalinya negara Islam tersebut, selian M. Natsir dan Prof. Dr. H. Rasyidi (hlm. 33). Beliau juga mengatakan,”Di tanah air kita, Indonesia ini, dasar negara Pancasila itu, menurut logika dan rasio tidaklah menjadi penghambat dari tumbuh terusnya cita-cita itu dalam alam kenyataan. Apalagi bila diingat bahwa sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun untuk mencapai itu, menghendaki kesabaran yang lama (hlm. 35).

Baca Juga  Diagnosis Keliru Terhadap Problematika Umat Islam di Indonesia

Menurut Buya Hamka, bentuk negara itu tidak harus berupa kekhalifahan. Beliau berdalih bahwa Nabi Muhammad sendiri secara eksplisit tidak menyebutkan bentuk negara seperti apa yang harus dibuat oleh umat Muslim. Barulah setelah itu, para shahabat berijtihad. Pemerintahan itu bisa berusah tergantung ruang dan waktu. Namun, kebenaran dalam menegakkan ajaran Islam itu tidak bisa berubah. Meskipun demikian, bukan berarti bentuk negara itu liar tanpa aturan. Al Qur’an menggariskan beberapa hal dalam membantuk suatu negara. Poin utama Al Qur’an dalam pembentukan suatu masyarakat adalah dengan bermusyawarah (Asy Syura : 38). Beliau juga mengatakan,”Tentang susunan pemerintahan, benarlah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, ”Bentuk pemerintahan ialah sebagaimana yang disukai oleh penduduk menurut ruang dan waktu.” (hlm. 181).

Kalaupun Indonesia memilih bentuk pemerintahan republik memakai presiden sedangkan Malaysia memilih pemerintahan berkelembagaan dengan kepala negaranya ialah Yang Dipertuan Agung, tidaklah hal itu melanggar ketentuan Islam. Asalkan tercapai suatu kekuasaan yang dibentuk oleh umat atau diterimanya dengan rela untuk menjaga berlangsungnya syariat. Dengan demikian, pemikiran Buya Hamka dalam hal kenegaraan tidak sekaku kelompok lain. Meskipun beliau mendukung suatu masyarakat berlandaskan Islam, bukan berarti negara Indonesia berlandaskan Pancasila ini harus dirubah seketika. Beliau tetap mendukung bentuk pemerintahan yang ada di Indonesia karena sila pertama dalam Pancasila,’Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang mencangkup syariat Islam dan dijamin untuk bisa dijalankan di Indonesia.

Bilal Fahrur Rozie

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *