Jalanhijrah.com-Piagam Madinah dan Sumpah Pemuda menjadi bukti bahwa umat Islam dan bangsa Indonesia dulu, umat-bangsa yang menghargai kerukunan dalam hidup beragama maupun berkebangsaan. Dua piagam itu, dijadikan asas atau solusi untuk merangkul seluruh perbedaan umat manusia, sehingga menjadi padu, menyatu, dan bersatu.
Itulah yang menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad punya jiwa merangkul melalui Piagam Madinah. Dan para pendiri bangsa Indonesia mencoba mengikutinya dengan Sumpah Pemuda.
Selalu berpikir dan berpandangan toleran, mesra, mengakurkan, dan menjauhi sikap-sikap keras lagi biadab. Islam sebagai ajaran mengajarkan larangan keras dari sikap-sikap biadab. Bahkan, untuk menyebarkan ajaran, terlarang dengan cara paksaan dan kekerasan.
Nabi Muhammad dan umara selalu mencontohkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan cara merangkul bukan memukul. Ajaran Islam disebarkan lewat jalan mengajak pada kebaikan dengan menyentuh, bukan mengejek bahkan menyinggung.
Dan kita, sebagai penerusnya, jika mau, pantas menirunya. Berlaku lemah lembut dengan sesama makhluk ciptaanNya. Mungkin inilah yang menjadi bukti bahwa Islam memerintahkan kita supaya berlaku lemah lembut dan menghindari kekerasan. Sebagaimana dalam ayat, “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama” (QS al-Baqarah [2]: 256).
Bila ada perbedaan, kita diperintahkan untuk melakukan tabayyun atau dialog. Supaya menemukan titik temu dalam menyelesaikan perbedaan dan melahirkan kesepakatan serta solusi yang aman dan damai.
Di beberapa ayat Al-Qur’an, Tuhan menghendaki perbedaan. Tuhan menghendaki makhluk-Nya bukan hanya berbeda dalam realitas fisikal, melainkan berbeda-beda dalam ide, gagasan, keyakinan, dan beragama sebagaimana disebut “Andaikan Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan umat yang satu. Dan (tetapi) mereka senantiasa berbeda” (QS. Hud [11]: 118); “Andaikan Allah menghedaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja” (QS. al-Maidah [5]: 48).
Demikianlah, sangat jelas bahwa Tuhan menjadikan perbedaan sebagai suatu fitrah. Perbedaan dijadikan untuk saling mengenal dan memahami, sebagaimana disebut dalam ayat, “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah yang Maha Mengetahui” (QS. al-Hujarat [49]: 13).
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa, selain tidak boleh ada paksaan dalam beragama, juga harus menghargai perbedaan. Orang lain terserah memilih tergantung keimanannya sendiri. Karena jalan yang benar dan salah sudah dibentangkan oleh Tuhan. Terserah setiap orang memilih dengan konsekuensinya. Tuhan dengan sangat indah menjelaskan ini dalam surah al-Rad [13]: 17.
Ketika perbedaan diciptakan oleh Tuhan, maka sangat logis dan bijaksana bahwa Tuhan juga memberikan perlindungan terhadapnya. Di mana, mereka menyembah yang mereka yakini (QS. al-Hajj [22]:40). Karena itu pula, pada ayat lain, Tuhan melarang umat Islam mencaci maki beda sesembahan atau pemeluk agama lian (QS al-An’am [6]:40).
Keyakinan agama berada pada wilayah paling personal, tersembunyi. Ia bergerak tak tertangkap, tak dapat dipetik. Ia hadir dalam rasa, tapi tak bisa dibahasakan secara verbal. Ia tak bisa dijabarkan dengan kaidah hukum, sebab hukum sering membuat manusia terlepas dari konteks. Hukum tak bisa menyeragamkan keimanan manusia. Agama adalah penebar-penyadar nilai moral.
Tapi agama bukan khotbah moral penyeragaman. Yang semuanya harus terlempar ke sana. Agama bukan ladang tukang pukul. Tapi sebagai wadah saling merangkul. Agama (Islam) adalah sinopsis dari konstruksi ketidakadilan. Hanya pada pengalaman profan manusialah seluruh praktik ajaran agama membekas.
Agama tak tumbuh dalam suasana patriarkis, diskriminatif, dan feodalistik. Feodalistik bisa membuat kita buta huruf tentang ketidakadilan dan ketidakadaban. Agama lahir sebagai kritik untuk kebutaan peradaban.
Bila mental feodalisme mengubah agamawan dan akademisi menjadi sekadar pelayan birokrasi, aktivis meninggalkan fungsi kritiknya karena takut kehilangan afiliasi, sekadar cari cuan dari pemegang duit negeri, lalu terengah-terangah bergerombol di forum-forum media sosial untuk membenci opisisi, adalah sikap yang membalik dari lahirnya agama itu sendiri. Agama diciptakan untuk memerdekakan mental manusia. Dengan itu, manusia memerdekakan peradaban. Lagi-lagi moral ditunggu nilainya di singgasana sana.
Kendati itu, tidak ada kekuatan apa pun selain kekuatan Tuhan yang bisa memaksakan keyakinan. Tuhan yang hanya mengetahuinya. Maka, hanya Dia pula yang bisa memutuskan apakah masing-masing orang itu keliru atau benar kelak di hari pertanggungjawaban: akhirat.
Tugas kita sebagai manusia, yang hidup dan dihidupi di bumi yang sama, cuma disuruh merangkul sesama, bukan memukul. Disuruh mencerahkan bukan mencela. Sebagaimana perkataan orang bijak, “Daripada mengutuk kegelapan, nyalakan sebatang lilin untuk menerangi jalan!”. Itu.