Jalanhijrah.com – Momen Idul Fitri, selain dijadikan sebagai ajang untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, sanak saudara dan para kerabat juga menjadi wasilah untuk saling memaafkan antar sesama. Di antara kebiasaan yang dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah tradisi Halal bi Halal.
Tradisi Halal bi Halal adalah sebuah momentum di mana keluarga besar ataupun lembaga maupun organisasi berkumpul dalam satu tempat yang bertujuan untuk saling memberi dan meminta maaf satu sama lain dengan cara bersalaman serta biasanya diakhiri dengan makan-makan bersama.
Dalam Islam, terdapat anjuran untuk menyambung tali silaturahim sebagai bentuk pemenuhan aspek hubungan antar sesama. Sehingga, Halal bi Halal pada hakikatnya merupakan tradisi yang dianjurkan dan harus dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kesunahan serta keutamaan.
Rasulullah saw menganjurkan untuk memohon maaf dan minta dihalalkan tatkala kita melakukan suatu kesalahan kepada orang lain, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ
Artinya: “Barangsiapa yang pernah berbuat aniaya (zalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun, hendaklah ia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia).” (H.R. Bukhari)
Di samping itu, disebutkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw ketika hendak berangkat dan pulang melaksanakan sholat ‘Id selalu menyusuri jalan yang berbeda sebagaimana tertera dalam hadits:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Artinya: “Apabila Rasulullah saw mendirikan sholat ‘Id, beliau mengambil jalan yang berbeda (antara berangkat dan kembali).” (H.R. Bukhari)
Para ulama pakar hadits menjelaskan bahwa hikmah Nabi saw melakukan hal tersebut bukanlah semata-mata untuk jalan biasa. Namun, kesempatan itu dimanfaatkan untuk mengunjungi sanak keluarga, dan kerabat entah masih hidup ataupun yang sudah wafat. Syekh Badruddin Al-‘Aini (wafat 855 H) dalam kitabnya menerangkan:
وَالْحِكْمَةُ فِيْهِ عَلَى مَا ذَكَرَهُ أَكْثَرُ الْشُّرَّاحِ… لِيَزُوْرَ أَقَارِبَهُ الْأَحْيَاءَ وَالْأَمْوَاتَ وَلِيَصِلَ رَحِمَهُ
Artinya: “Hikmah daripada Nabi saw. menyusuri jalan yang berbeda saat hendak berangkat dan pulang melaksanakan sholat ‘Id menurut keterangan mayoritas pensyarah hadits ialah agar dapat mengunjungi kerabatnya baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal, serta untuk mengeratkan tali silaturahim.” (Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi, Umdah Al-Qari Syarh Sahih Al-Bukhari [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], vol. 6, h. 306)
Dalam redaksi hadits lain, Rasulullah saw juga memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa menyambung tali silaturahmi:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang ingin dibentangkan rezekinya serta dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia melakukan silaturahmi.” (H.R. Bukhari)
Berkenaan dengan hadits di atas, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam Al-Adzkar menerangkan bahwa termasuk kesunahan yang sangat dianjurkan ialah menyambung ikatan silaturahim kepada sanak keluarga, handai taulan, dan para kerabat dengan cara mengunjunginya, memuliakannya, serta berbuat baik kepada mereka:
يُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكِّدًا زِيَارَةُ الصَّالِحِينَ وَالْإِخْوَانِ وَالْجِيرَانِ وَالْأَصْدِقَاءِ وَالْأَقَارِبِ وَإِكْرَامُهُمْ وَبِرُّهُمْ وَصِلَتُهُمْ وَضَبْطُ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ وَمَرَاتِبِهِمْ وَفَرَاغِهِمْ وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ زِيَارَتُهُ لَهُمْ عَلَى وَجْهٍ لَا يَكْرَهُونَهُ وَفِي وَقْتٍ يَرْضَوْنَهُ
Artinya: “Sunah yang sangat dianjurkan untuk mengunjungi orang-orang salih, teman, tetangga, dan kerabat serta memuliakan, berbuat baik dan menyambung ikatan tali silaturahim dengan mereka. Dan hal ini kadarnya bisa berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan waktu luangnya masing-masing. Hendaknya saat berkunjung kepada mereka dengan cara yang disukai dan di waktu yang diridhai.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 268)
Lantas, siapakah yang semestinya lebih di utamakan untuk bersilaturahmi di antara para kerabat dekat tersebut? Mengenai hal ini, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) dalam kumpulan fatwanya menjawab bahwa yang dianjurkan untuk berbuat baik dan diharamkan untuk memutus ikatan silaturahmi dengannya, adalah seluruh kerabat baik dari jalur ayah atau ibu meskipun jauh:
وَالْمُرَادُ بِالْأَرْحَامِ الَّذِينَ يَتَأَكَّدُ بِرُّهُمْ وَتَحْرُمُ قَطِيعَتُهُمْ جَمِيعُ الْأَقَارِبِ مِنْ جِهَةِ الْأَبِ، أَوْ الْأُمِّ وَإِنْ بَعُدُوْا
Artinya: “Yang dimaksud dan dianjurkan untuk berbuat baik serta diharamkan untuk memutus ikatan silaturahmi dengannya adalah seluruh kerabat baik dari jalur ayah atau ibu meskipun jauh.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 4, h. 245)
Lebih dari pada itu, tradisi Halal bi Halal bukan hanya sekadar bermaaf-maafan dan menyambung ikatan silaturahmi saja. Melainkan juga dapat memperkuat dan memperteguh tali persaudaraan antar sesama umat Muslim. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا، وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Artinya: “Seseorang yang beriman terhadap orang beriman lainnya laksana satu bangunan yang satu sama lain saling menguatkan. Lalu beliau mengilustrasikannya dengan cara menyilangkan jari jemari beliau.” (H.R. Bukhari)
Terkait kandungan makna hadits di atas, Imam Ibn Rajab Al-Hanbali (795 H) menyampaikan bahwa sabda Nabi saw menegaskan perihal pentingnya memperkuat dan memperteguh tali persaudaraan antar sesama umat Muslim di bawah naungan ukhuwah nasab dan iman:
وَيُفْهَمُ مِنْ تَشْبِيْكِهِ أَنَّ تَعَاضُدَ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْنَهُمْ كَتَشْبِيْكِ الْأَصَابِعِ بَعْضُهَا فِيْ بَعْضٍ، فَكَمَا أَنَّ أَصَابِعَ الْيَدَيْنِ مُتَعَدِّدَةٌ فَهِيَ تَرْجِعُ إِلَى أَصْلٍ وَاحِدٍ.. فَكَذَلِكَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَإِنْ تَعَدَّدَتْ أَشْخَاصُهُمْ فَهُمْ يَرْجِعُوْنَ إِلَى أَصْلٍ وَاحِدٍ، وَتَجْمَعُهُمْ أُخْوَةُ الْنَّسَبِ إِلَى آدَمَ وَنُوْحَ، وَأُخْوَةُ الْإِيْمَانِ
Artinya: “Dapat dipahami dari menyilangkan jari-jemarinya Nabi saw bahwa saling menopang orang beriman di antara mereka seperti halnya saling silang jari-jemari satu sama lain meski jari-jemari tangan itu berbeda-beda namun tetap kembali kepada satu pokok utama. Begitu pula seorang mukmin meskipun sosoknya berbeda-beda namun tetap kembali pada satu pokok dan sama-sama berkumpul dalam ikatan ukhuwah nasab yang tersambung pada Nabi Adam dan Nuh serta ukhuwah iman.” (Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali, Fath Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari [Madinah: Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsrariyyah], vol. 3, h. 420)
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa tradisi Halal bi Halal yang berlaku di tengah masyarakat selaras dengan syari’at Islam. Pasalnya, tradisi ini mengandung nilai-nilai silaturahmi dan unsur kebaikan. Tradisi ini juga merupakan wujud keharmonisan antar sesama.
Hal ini dibuktikan oleh pelbagai argumentasi hadits serta penjelasan para ulama perihal anjuran untuk senantiasa menyambung tali silaturahmi dan meminta kehalalan atau permohonan maaf jika pernah melakukan suatu kesalahan ataupun kedzaliman kepada orang lain. Halal bi Halal juga penting untuk memperkuat dan memperteguh tali persaudaraan antar sesama umat Islam.
Halal bi Halal lebih dari sekadar tradisi keagamaan yang perlu dirawat dan dilestarikan, namun juga sebagai instrumen untuk saling bermaaf-maafan dengan nilai-nilai positif guna mewujudkan kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam bis shawab.