Di Yogyakarta, tiga seniman Samuel Indratma, Faisal Kamandobat, dan Alit Ambara berhasil mempersembahkan karya seni rupa kontemporer melalui pameran Tabon dan Pasar Jembar. Event ini tak sekadar sebagai ruang apresiasi, juga menjadi arena lintas iman dan lintas disiplin ilmu pengetahuan.
Selain itu, pameran tersebut menunjukkan bahwa karya seni tak hanya dinikmati oleh kalangan seniman atau penikmat seni, tetapi bisa diakses oleh masyarakat luas. Faktanya, kegiatan yang digelar selama dua pekan (22 April-5 Mei 2024) ini berhasil menggaet 8.124 pengunjung.
Samuel Indratma, seniman mural Yogyakarta, berbagi cerita dengan Arina.id mengenai ide awal pameran Tabon. Hal itu berangkat dari obrolannya bersama dua sahabatnya, Faisal dan Alit.
Faisal Kamandobat, seorang antropolog dari Universitas Indonesia, juga aktif dalam seni visual, sastra, dan penulisan. Karyanya banyak menampilkan gabungan elemen visual dengan pegon dan instalasi untuk mengolah tema spiritualitas dan nilai-nilai Islam dalam seni kontemporer. Di sisi lain, Alit Ambara, seniman asal Bali yang menggunakan medium poster untuk mengangkat isu-isu sosial dan politik bangsa.
Semasa Covid-19 ketiganya membincang bagaimana menyuarakan kegelisahan atas kondisi bangsa melalui karya seni rupa, yang kemudian dieksplorasi dalam sebuah pameran. Setelah itu, Samuel bertemu dengan Alissa Wahid dan Inayah Wahid.
Samuel menyampaikan satu hal yang mengganggu pikirannya. Bagaimana seni rupa bisa mendistribusikan semangat atau gagasan dan pemikiran Gus Dur? Obrolan panjang itu lantas mengerucut pada sebuah pameran yang diberi judul “Tabon”.
Tabon diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti rumah induk atau rumah awal ketika para keluarga tumbuh dibesarkan sebelum pergi bekerja dan kembali ke rumah asal.
Tabon ini juga dikaitkan dengan tiga seniman yang berangkat dari latar belakang berbeda. “Saya kristen, Faisal muslim, dan Alit penganut hindu. Kita punya perspektif berbeda melihat kebudayaan dan seni kemudian kita satukan dalam pameran,” kata Samuel.
Lantaran tak ingin menampilkan jargon kesetaraan dan lintas iman, saja. Samuel dan kedua sahabatnya mengemas pameran Tabon dalam bentuk Pasar Jembar dengan tujuan membentangkan khazanah pengetahuan, persahabatan, pertemanan, dan ekonomi yang inklusif.
Jembar sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti luas, lapang. Maka Pasar Jembar harus menjadi wadah kreasi ekspresi karya seni yang hadir dalam bentuk ruang perjumpaan lintas batas, yaitu ekonomi, sosial, dan kebudayaan antarwarga: lintas iman, lintas etnis, dan lintas budaya.
Samuel menuturkan konsep ini tidak lahir begitu saja, ia dan dua kawannya membuat konsep yang mengikat dan membebaskan. Memakai judul “Tabon” yang berarti rumah. Jika rumah diisi keluarga yang beraneka ragam, maka apa yang terjadi?
“Karena ruang lingkup saya di wilayah kesenian seni rupa dan meminati kerja-kerja kolektif antar warga di perkotaan atau perdesaan, iya, saya kontribusikan yang berkaitan dengan aktivitas saya,” kata Samuel.
Sementara Faisal karena berasal dari pesantren maka karya yang ditampilkan ruang lingkup tradisional yang ada dalam pesantren. Dan Alit Ambara memilih menceritakan kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pameran Tabon dan Pasar Jembar membuka ruang inklusif
Samuel mengungkapkan Pasar Jembar banyak menyajikan ragam usaha milik warga dan komunitas yang berbentuk barang, jasa workshop/lokakarya, dan seni pertunjukan yang menghadirkan pengalaman keramahan, kegembiraan, dan canda tawa. Keberadaan pasar ini seolah mengisyaratkan seperti pepatah Jawa “Pasar aja nganti ilang kumandhange”. Jangan sampai pasar kehilangan keramaiannya.
Riuh orang yang berjumpa, dirangkai dalam sebuah ruang yang riang. Tanpa sekat namun tetap mengedepankan ruang aman antar sesama. Seniman, pengunjung, pengisi acara, berada dalam satu tatanan yang sama dan setara.
“Jadi semangat Indonesia dicapture melalui medium Pasar Jembar,” ungkap Dia. Tidak bisa dipungkiri, Indonesia memiliki banyak ragam yang bisa ditunjukkan pada dunia bahwa menjadi negara majemuk punya daya tarik sendiri dan perlu jadi aset penting.
“Event Pameran Tabon dan Pasar Jembar itu menggambarkan bahwa lintas iman itu bisa diselenggarakan dengan casual, dengan keseharian, dengan keindahan yang sederhana,” ujarnya.
Samuel mewacanakan event ini akan digelar tahunan bekerja sama dengan banyak pihak. Sehingga seni dapat memberikan manfaat dalam membahas masalah bangsa, negara, dan budaya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dulu dilakukan Gus Dur.
Faisal Kamandobat mengatakan pameran ini merupakan sebuah manifestasi kosmologi yang selaras dengan perkembangan pandangan hidup masyarakat. Secara metaforis, Tabon ini bukan hanya rumah tapi tradisi bisa berupa kekayaan spiritual, tradisi artistik, kemampuan dalam mengelola masyarakat, mengelola ekosistem dan lingkungan. Disaat yang sama membangun hubungan dan lanskap yang besar bukan hanya pada kelompok sendiri tapi bangsa lain. “Ini kita punya seluruh skema ini,” kata dia.
Melalui karya-karyanya ia ingin menyampaikan bagaimana spiritualitas dan sains bisa menyatu menjadi satu pandangan hidup atau kosmologi dalam satu masyarakat. Pertama, memaknai kembali ritual atau ibadah yang melebur sebagai adat istiadat. Kedua, soal agama melakukan proses rasionalisasi lewat sains misalnya peristiwa Isra Mi’raj yang mendorong ilmu astronomi. Untuk membubuhkan makna dalam karya-karyanya, Faisal memakan waktu hingga 4 bulan.
Menyuarakan isu lingkungan dan keberlanjutan
Selain isu lintas iman dan sosial-politik, pameran ini juga mengangkat kesadaran akan keberlanjutan dan lingkungan. Pameran ini menerapkan konsep hijau dengan menghitung emisi karbon yang dihasilkan serta menyediakan tempat sampah yang membedakan sampah organik dan anorganik. Bahkan, sejumlah mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD berkontribusi dalam menghitung energi yang digunakan selama pameran.
“Yang menarik ada teman-teman UGM yang menghitung emisi, kampus APMD juga ikut serta menghitung supaya mengetahui berapa listrik yang dihabiskan dalam pameran, boros atau tidak, kontribusinya seperti itu,” kata Samuel.
Hal ini tak hanya menjadi edukasi pengunjung pameran dan pasar tetapi juga pengetahuan bagi penyelenggara pentingnya pengetahuan tentang lingkungan misalnya bagaimana membuat event non sampah. Jadi pameran ini mempertemukan lintas disiplin ilmu mempertemukan orang yang peduli sampah, energi.
Beberapa yang ditampilkan di pameran menggabungkan teknologi misalnya ada trailer film animasi ‘Belik’ yang membicarakan tentang ekologi. Kemudian ada trailer film ‘Sintren Save The Planet’ yang membahas kesenian tradisi di Jawa penggambaran bahwa bagaimana menyelamatkan perempuan di dunia.
“Kami ingin memperlihatkan bahwa keberagaman budaya Indonesia sangat indah jika disajikan dengan cara yang otentik,” tandas Samuel.