Ekstrimisme di Indonesia selalu diwarnai dengan dinamika baru. Jika flashback kembali, bisa dikatakan bahwa kemajuan dalam penanganan ekstrimisme kekerasan di Indonesia ditandai dengan disahkannya Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan Mengarah pada Terorisme yang selanjutnya disingkat menjadi RAN PE yang ditetapkan pada 6 Januari 2021 silam.

Mengapa merupakan kemajuan? karena RAN PE merupakan strategi nasional yang melibatkan seluruh aktor lintas kementrian dan lembaga serta menggunakan Soft Approach yang melibatkan aktor-aktor non tradisional keamanan seperti organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi anak muda, organisasi perempuan dan para tokoh adat yang bisa aktif terlibat dalam upaya pencegahan dan penaggulangan ekstrimisme kekerasan. Selain itu juga kemajuan secara legislasi karena memberikan dukungan yang dapat memperkuat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih minim dukungan.

Babak Baru Radikalisme dan Ekstrimisme kekerasan

Memasuki periode ke-2 RAN PE 2025-2029 yang saat ini masih di tahap rancangan, perlu kiranya memotret dan mengidentifikasi apa saja hal-hal baru atau pola-pola baru yang ditemukan dalam dinamika ekstrimisme di Indonesia. Dalam Pembukaan Konvensi dan Konferensi The Working Group on Women and Preventing or Countering Violent Extremism (WGWC), diskusi besarnya adalah identifikasi babak baru ektrimisme kekerasan dalam perspektif Women Peace and Security. Salah satu pertanyaan yang mencuat adalah tentang bagaimana strategi penguatan masyarakat yang bisa dilakukan dalam menghadapi babak baru tersebut?

Baca Juga  Pesan Ekologis dari Peristiwa Isra Mikraj

Moch Ade Bakti, Direktur Eksekutif dan Penelitian Pusat Kajian Radikalisme memaparkan bahwa ada pola baru yang sekarang bermunculan. Dalam konteks early warning system atau deteksi dini, kita tidak bisa lagi hanya mengidentifikasi ekstrimisme hanya pada penampilan karena ada pergeseran pola di mana kelompok radikal dan ekstrimis mulai merubah strategi. Kalau dulu mungkin masih bisa kita identifikasi dari penampilan atau hate speech yang dilakukan, namun sekarang hal tersebut tidak bisa lagi dijadikan patokan.

Mereka mengubah strategi dengan lebih membaur bersama Masyarakat lewat media filantropi seperti lembaga amal, bahkan yang paling tidak terduga adalah terjun ke politik dengan membuat partai. Situasi ini memunculkan pola baru di mana di satu sisi ada masyarakat yang masih gamang ketika melihat radikalisme berdasarkan penampilan, di sisi lain ada kelompok ekstrimis yang sudah mulai merubah caranya sebagai strateginya untuk eksis berada di sekitar kita.

Strategi Pelibatan Masyarakat, Apa yang perlu diperhatikan

Sebagaimana diatur dalam RAN PE bahwa perlu melibatkan masyarakat dalam penanggulanan ekstrimisme, Yuniyanti Chuzaifah memberikan pertanyaan reflektif terkait upaya pelibatan masyarakat yang telah dijalankan. Yang terjadi di lapangan adalah keterlibatan masyarakat untuk terlibat dalam early warning system atau deteksi dini justru mengancam masyarakat itu sendiri karena mereka dianggap sebagai mata-mata dan lain sebagainya. Di satu sisi keterlibatan Masyarakat dapat menjadi penopang resiliensi, namun disisi lain juga menempatkan mereka dalam resiko yang besar. Lalu kemudian, bagaimana antisipasinya?

Baca Juga  Mengkaji Etika Politik Menurut Pandangan Muhammad Abduh

Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Yayasan Empatiku, Mira Kusumaningrum menyampaikan bahwa yang paling penting dan paling bijak dilakukan adalah menguatkan daya tangguh atau resiliensi masyarakat. Baik masyarakat sebagai individu, keluarga maupunbagian dari sosial masyarakat. Selama ini Empatiku juga belajar dari masyarakat bagaimana meningkatkan daya tangguh dan resiliensi dalam Masyarakat. Ada 4 pilar yang menurutnya harus diperhatikan, yaitu:

  1. Pengetahuan terkait bahaya radikalisme. Namun menurut Mira, pengetahuan saja tidak cukup. Karena itu Empatiku membantu Masyarakat mengembangkan panduan bagaimana mengenali tanda-tanda peringatan dini, sedini mungkin.
  2. Mekanisme penanganan. Setelah Masyarakat memahami bahaya ektrimisme dan juga mengetahui deteksi dini, yang harus dilakukan adalah adanya management system yang dikelola masyarakat sendiri. Tujuannya tentu saja agar kasus-kasus dini bisa tertangani dengan tuntas.
  3. Pentingnya kohesi sosial yang kuat. Virus radikalisme adalah virus sosial. Maka, Kohesi sosial di mana kita bisa memupuk rasa saling percaya menjadi modal sosial yang harus harus kita pupuk sebagai kemampuan daya tahan kita
  4. Kebijakan yang mendukung sistem ini terus berjalan. Karenanya, Kerjasama dengan pemerintah perlu dilakukan.

Selain itu, agensi Perempuan juga penting untuk dikuatkan. Agensi Perempuan mempunyai ciri khas di mana dia mempunyai kemampuan untuk berkontribusi pada Masyarakat secara luas. Perempuan mempunyai peran yang sangat krusial dalam membangun dan memupuk kohesi sosial dan menjadi agen perubahan di Masyarakat. Karena itu, Perempuan perlu diberdayakan agar potensinya tidak disalahgunakan kelompok ekstrimis sehingga dia tidak terjebak dalam jerat ekstrimisme kekerasan.

Baca Juga  Meneroka Hikayat Toleransi Jagat Pesantren

Dalam dinamikanya, radikalisme dan ektrimisme kekerasan selalu menghadapi tantangan-tantangan baru. Sebagaimana yang disampaikan Mira Kusumaningrum, Indonesia itu laten. Artinya, Indonesia punya potensi mengakar yang itu bisa digunakan oleh kelompok radikal untuk terus eksis.

Karenanya, salah satu cara yang paling sustainable dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang adalah dengan meningkatkan daya tahan dan resiliensi di Masyarakat. Caranya adalah dengan mengoptimalkan agensi masyarakat dan juga Perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme kekerasan.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.