Terinspirasi dari salah satu paragraf endorsement Iqbal Aji Daryono untuk buku “Kita dan Mereka” karya Agustinus Wibowo; /Semakin memahami bagaimana diri dan identitas kita terbentuk, semakin kita akan meluruhkan batas-batas yang selama ini terimajinasikan–namun sesungguhnya tidak pernah berdiri kokoh sebagai kenyataan.)
Apa yang membuat seseorang setengah mati membenci etnis Tionghoa, Ba’alawi, Arab Yaman, Madura, atau agama Kristen, Islam, Ahmadiyah, Syiah, Salafi Wahabi, misalnya? Dengan kata lain, mengapa kita bisa memusuhi etnis dan agama tertentu dan bersikap rasis terhadap mereka?
Tentu saja penyebabnya bersifat unik, tergantung subyek, obyek, dan masalah yang menjadi pangkal perseteruan dalam relasi antar pembenci dan yang dibenci. Namun, kita mungkin bisa menemukan sesuatu yang seragam, yaitu egosentrisme yang membungkam aspek empati dalam diri para pelaku rasisme itu.
Itu terjadi lantaran kita kerap lupa, atau abai sama sekali, terhadap kompleksitas pembentukan identitas diri; bahwa pada dasarnya kita dibentuk oleh segala hal yang primordial.
Akibatnya, kita tak memiliki kemampuan untuk melihat yang di luar kita secara utuh, secara obyektif. Kita tak mampu melihat Sang Liyan secara jernih, terlebih jika Sang Liyan adalah kelompok minoritas. Dalam relasi semacam itu, kita akan cenderung mengait-ngaitkan etnis dan atau agama si minoritas saat mereka melakukan kesalahan.
Maka yang muncul adalah stereotyping: kebaikan adalah milik kita, sisanya; kejahatan, kesesatan, dan semua keburukan yang ada di atas bumi ini milik mereka. Batas-batas imajinal good and evil terbangun. Kita di sini dan mereka di sana.
Lalu api kebencian terhadap Sang Liyan membakar semangat kita untuk terus mengoyak dan menyakiti etnis dan agama itu, dengan lisan maupun dengan tangan. Kita menjadi fanatik dan ekstrem, meski kita merasa dan mengaku sebagai moderat.
Yang kita cela adalah etnis dan agama tertentu, bukan perilaku sebagian anggota dan penganutnya, tanpa kita peduli bagaimana luka hati seluruh anggota etnis dan penganut agama itu.
Kita lupa bahwa semua orang, kita dan mereka, tidak senang jika suku dan agamanya dilekatkan pada perbuatan buruk oknumnya, lalu dihujat sedemikian rupa.
Panasnya api amarah telah membuat kita alpa bahwa warna setiap komunitas etnis dan agama tidak ada yang tunggal. Tidak ada satu pun etnis dan agama yang layak dihakimi sebagai buruk lalu dijadikan sasaran hujatan.
Kita dan mereka sama saja; ada yang baik dan yang buruk. Hanya saja, perbedaan politik, fanatisme golongan, kecemburuan sosial, dan sentimen pribadi, membuat kita gagal melihat spektrum warna warni itu. Dan semua itu bermula dari keengganan kita merenungkan dan memahami bagaimana diri dan identitas kita terbentuk. Dengan kata lain, kita sudah tidak adil sejak pagi-pagi sekali.
Ben Sohib
Penulis, tinggal di Jakarta. Sosoknya dikenal publik karena dwilogi novel The Da Peci Code dan Rosid & Delia. Kedua novel tersebut adalah satire tentang kehidupan multi-etnis dan agama di Jakarta. Film terbarunya: Bid’ah Cinta (2017).