Pertemuan antara Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, memicu beragam tafsir di kalangan publik. Sebagian berpendapat bahwa hubungan antara Prabowo dan Presiden Jokowi sedang tidak harmonis, dengan Prabowo tampak mulai melepaskan diri dari pengaruh Jokowi. Ada pula yang menafsirkan pertemuan tersebut sebagai sinyal PDIP ingin bergabung dalam kabinet pemerintahan Prabowo untuk periode 2024-2029, dan meminta Prabowo untuk menyampaikan niat tersebut kepada Jokowi agar diberikan kesempatan.
Bagaimana pun, keberhasilan Prabowo dalam Pilpres 2024 tidak lepas dari peran Jokowi. Efek Jokowi mampu mengonsolidasikan dukungan dari elit hingga akar rumput untuk memenangkan Prabowo. Tanpa dukungan Jokowi, akan sulit bagi Prabowo untuk meraih suara signifikan dan menang dalam satu putaran. Meskipun demikian, Gus Dur pernah mengatakan bahwa Prabowo akan menjadi presiden di usia tua, dan ramalan ini terbukti setelah Prabowo gagal dalam tiga pilpres sebelumnya sebelum akhirnya berhasil menang.
Di luar pengaruh Jokowi dan kedekatan Megawati dengan kabinet Prabowo, saya kira tidak perlu ada banyak spekulasi. Sebagai warga Indonesia, yang terpenting adalah berharap agar pemimpin terpilih menjalankan amanahnya dengan baik. Perebutan kursi kepemimpinan tidaklah relevan, yang utama adalah bagaimana kesejahteraan dan keadilan dapat terwujud bagi rakyat, karena hal itu merupakan esensi dari amanah kepemimpinan.
Kesejahteraan hanya dapat tercapai jika pemimpin mampu merasakan penderitaan rakyat yang terhimpit kemiskinan. Pemimpin mungkin sudah hidup berkecukupan, tetapi banyak rakyat yang masih harus berjuang hanya untuk makan hari ini. Jika kemiskinan tidak dapat diatasi, maka kesejahteraan yang diamanatkan dalam Pancasila hanyalah omong kosong. Sila tersebut menjadi gagasan tanpa implementasi nyata. Oleh karena itu, pemimpin hari ini dan di masa mendatang harus mewujudkan kesejahteraan tersebut.
Selain itu, keadilan juga harus ditegakkan. Pemimpin harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya mengutamakan kelompok terdekatnya sementara kelompok lain diabaikan. Pemimpin harus belajar dari pengemudi ojek online (ojol), yang amanah dalam mengantarkan penumpang hingga tujuan tanpa membeda-bedakan. Dengan sikap ini, pemimpin akan mendapatkan kepercayaan, seperti pengemudi ojol yang menerima bintang lima sebagai simbol amanah dan keramahan.
Lebih dari itu, pemimpin harus mampu mengintegrasikan politik dan nilai-nilai agama, bukan dalam konteks mendirikan negara Islam atau politik Islam, tetapi dengan menghadirkan nilai-nilai positif yang dibawa oleh agama. Agama harus bisa membumi di tengah masyarakat Indonesia yang plural, bukan hanya menjadi wacana kosong tanpa implementasi. Membumikan nilai-nilai agama persis seperti yang ditekankan oleh Quraish Shihab dalam membumikan nilai-nilai Al-Qur’an.
Nilai-nilai positif agama mencakup kemanusiaan dan moderasi. Kemanusiaan berarti melihat orang lain sebagai saudara yang harus diperlakukan dengan adil, tanpa memandang latar belakang agama atau pemikiran. Tidak peduli apakah seseorang beragama Islam atau bukan, berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, semua diperlakukan sama. Di antara mereka tidak ada yang dianakemaskan dan dianaktirikan.
Demikian pula, nilai moderasi harus dipegang oleh pemimpin dalam menjalankan pemerintahan. Pemimpin tidak boleh terlibat atau mendukung radikalisme atau ekstremisme yang bisa membahayakan umat dan negara. Moderasi menjadi benteng untuk menjaga kerukunan dan kedamaian, tanpa menumbuhkan rasa curiga dan kebencian di antara sesama warga negara.
Beberapa teroris yang memegang paham ekstremis telah banyak diberantas semenjak dua periode kepemimpinan Jokowi. Hal ini dilakukan melalui bantuan sayap-sayap pemerintah yang fokus dalam pencegahan terorisme, seperti BNPT, Densus 88, dan BIN. Selain itu, banyak media online yang melakukan deradikalisasi sehingga masyarakat tersadarkan dan berjuang bersama dalam pencegahan terorisme. Prabowo harus melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya.
Sebagai penutup, Prabowo harus mampu memimpin dengan landasan nilai-nilai positif agama. Tanpa itu, kepemimpinannya berpotensi gagal, dan kegagalan seorang pemimpin adalah pelanggaran terhadap amanah yang diberikan. Amanah tersebut kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Semoga Prabowo menjadi pemimpin yang amanah.[] Shallallahu ala Muhammad.