Jalanhijrah.com— “Women at the center stage of policing” adalah tema utama Konferensi Asosiasi Polwan Internasional ke-58 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pada 7—11 November 2021. Ada lima subtema yang menjadi turunannya, yaitu Women, Peace, and Security; Women and Leadership; Police Women and Their Challenges; The Role of Women in Policing; Science, Technology, and Policing; dan, Current Issues on Transnational Crimes.
Program penting konferensi ini adalah Training Sessions, yakni terdapat enam keynote meliputi Mendagri, Under-Secretary-General for Peace Operations, dan empat lainnya adalah inspiring female leaders dari tanah air, yaitu Menkeu, Menlu, Wamenparekraf, dan Wakapolda Kalimantan Tengah. Selain itu, 65 pembicara akan berbagi keahlian, pengetahuan, pengalaman, dan best practice mereka. (cnnindonesia, 8/11/2021).
Risiko Tinggi
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Konferensi Polwan Internasional ini mengekspos “keberhasilan” Indonesia dalam mendudukkan Polwan dalam pencapaian target kesetaraan gender (KG). Salah satu ukurannya adalah posisi tinggi dalam hierarki Polri dan posisi berisiko tinggi.
Menurutnya, Polri terus memperjuangkan KG di Indonesia, termasuk karier Polwan di Korps Bhayangkara. Saat ini, terdapat kurang lebih tiga Jenderal di jabatan-jabatan tertentu di Mabes Polri. (inews.id, 7/11/2021).
Berdasarkan Wikipedia, polwan bertugas dalam penanganan dan penyidikan kasus kejahatan yang melibatkan kaum wanita, baik korban maupun pelaku kejahatan. Tugas Polwan di Indonesia terus berkembang tidak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak dan remaja, narkotika dan masalah administrasi, bahkan berkembang jauh hampir menyamai berbagai tugas polisi prianya.
Sebagai contoh, ada seorang polwan yang menjadi anggota pasukan Garuda Bhayangkara sebagai penjaga perdamaian (peacekeeper) selama 1,5 tahun di daerah konflik di wilayah Afrika. Ini adalah misi Perserikatan Bangsa-Bangsa. (liputan6com, 11/11/2020).
Fakta ini menunjukkan tugas polwan pada era kapitalisme sangat berat dan berisiko tinggi. Apalagi ia harus meninggalkan keluarga dan perannya sebagai ibu dari anak yang masih butuh pengasuhan langsung darinya. Ini sungguh tidak mudah. Dari sudut pandang Islam, posisi wanita dalam pembangunan berbasis KG sangat berat, berisiko, dan tidak sesuai fitrahnya.
Semestinya, wanita terlindungi dan tidak berada di posisi pekerjaan yang membahayakan nyawa, apalagi terkait pertahanan dan keamanan negara yang seharusnya merupakan tugas para pria dalam membela agama dan negara. Anehnya, posisi yang membahayakan itu justru diklaim sebagai posisi membanggakan, bentuk emansipasi, terhormat, dan memuliakan wanita.
Kemuliaan Hakiki
Wanita dan pria adalah sama-sama hamba Allah Swt. yang memiliki hak dan kewajiban masing-masing sesuai fitrahnya. Fitrahnya wanita secara psikis lebih lembut daripada pria. Secara fitrah, pekerjaan yang mampu wanita lakukan tidak seberat pria karena memang secara fisik tidak sekuat fisik mereka.
Namun demikian, nilai (kualitas) pekerjaan wanita bukan berarti lebih rendah dari pria. Maskulinitas pada pria dan feminitas pada wanita adalah fitrah sehingga tidak perlu dibenturkan atau dipersaingkan agar dianggap setara dan sama persis. Keduanya memang Allah ciptakan untuk saling melengkapi.
Islam sangat memahami peran dan porsi keduanya. Sebagai agama yang sangat memuliakan wanita, Islam melindungi dan menjauhkan wanita dari kerawanan, serta menjaga kehormatannya. Islam pun memberi amanah kepada para muslimah untuk menjadi istri salihah dan ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Menjadi al ‘umm wa rabbatul bait ‘ibu dan manajer rumah tangga’ adalah tugas utama muslimah. Itulah karier tertingginya, yaitu mendidik anak-anak dan keturunannya menjadi generasi penerus peradaban Islam. Ini adalah amanah yang tidak main-main, sangat serius dan harus diupayakan sebaik mungkin.
Adapun karier lain, seperti guru, dokter, polwan, ilmuwan, dan lain-lain, merupakan peran tambahan yang harus tertuju untuk kemaslahatan umat tanpa meninggalkan peran utamanya sebagai al ‘umm wa rabbatul bait.
Oleh karena itu, salah besar jika mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah posisi yang tidak strategis dan tidak istimewa. Para muslimah justru harus menjadi orang tua berkualitas dengan ilmu dan pendidikannya agar bisa membentuk anak-anak berkepribadian Islam yang mulia. Para muslimah tidak dipandang lemah dan tidak berdaya hanya karena penempatan posisi ini.
Polwan sebagai Pelopor Kebaikan dalam Islam
Dalam konsep Islam, menjadi polwan adalah posisi tambahan bagi wanita yang harus sejalan dengan fitrahnya. Sebagai seorang muslimah, polwan harus menjadi pelopor dalam berperan sesuai syariat Islam dan menolak pembangunan berbasis KG.
Dalam struktur negara Islam, satuan kepolisian masuk dalam departemen keamanan dalam negeri yang merupakan departemen yang mengurusi segala bentuk gangguan keamanan sekaligus menjaga keamanan dalam negeri.
Satuan kepolisian beranggotakan pria balig dan memiliki kewarganegaraan. Wanita boleh menjadi anggota kepolisian (polwan) untuk melaksanakan tugas-tugas wanita yang memiliki hubungan tugas-tugas keamanan dalam negeri. Negara akan mengeluarkan undang-undang khusus untuk mengatur masalah ini sesuai syariat Islam.
Dengan demikian, tugas polwan adalah pelopor kebaikan dan ikut menjaga keamanan dalam negeri sesuai syariat Islam. Tugas-tugasnya sesuai fitrah, tidak rawan dan berisiko tinggi, serta harus tetap menjaga aturan Islam, seperti menutup aurat dengan sempurna ataupun mengenakan kerudung dan jilbab.
Selain itu, dalam Islam, peran polwan sama sekali tidak untuk menjadi setara dengan pria sebagaimana konsep KG, tetapi lebih pada membantu negara menjalankan fungsinya menerapkan syariat Islam secara menyeluruh ke seluruh pelosok negara Islam. Wallahualam. [MNews/Gz]
Penulis: Ummu Naira Asfa https://www.muslimahnews.com/2021/11/13/polwan-indonesia-pelopor-kesetaraan-gender/