Bagaimana isu perempuan dalam politik terkini di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka?
Kamis pagi yang lalu (24 Oktober 2024) saya menjadi salah satu pengisi diskusi ‘Keadilan Gender di Kampus, Sudahkah?’ di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Acara tersebut diadakan oleh Rumah Gender Fakultas FDK untuk mengenalkan tema gender ke mahasiswa-mahasiswi baru. Saya sangat apresiatif dengan kegiatan ini karena materi gender memang perlu dikenalkan sejak dini mengingat proses pembentukan perspektif gender yang adil dan setara membutuhkan proses yang panjang, khususnya bagi laki-laki.
Ada satu data yang menarik saat Wakil Dekan memberikan keynote speech dan menyampaikan komposisi mahasiswa yang berkuliah di FDK. Perempuan mendominasi angka dengan jumlah empat berbanding satu alias 80 persen! Angka ini tentu memiliki konotasi positif mengingat di satu masa perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan. Secara akumulatif pun, diprediksi jumlah mahasiswa perempuan di kampus lebih banyak dari laki-laki.
Namun di sisi lain, sebagaimana diungkapkan narasumber Nur Afni Khafsoh, realitas politik struktural kampus masih belum memberikan perempuan ruang yang setara.
Jumlah pimpinan di lembaga-lembaga kampus masih didominasi oleh laki-laki dengan jumlah yang sangat timpang. Hal ini menegaskan temuan dari British Council tahun 2022 mengenai Gender Equality in Higher Education: Maximising Impacts yang dikutip oleh Kompas. Laporan tersebut menyebutkan ‘Karier laki-laki di dunia akademis lancar di setiap jenjang. Sementara pada perempuan, karier hanya lancar atau lebih baik di tahap awal. Seiring dengan naiknya tingkatan ke posisi yang lebih tinggi, jumlahnya tidak sebanding dengan laki-laki’.
Bentuk represi struktural di kampus diakui oleh narasumber lainnya Eka Desi Susanti, seorang alumnus yang kini menempuh pendidikan magister.
Perjalanannya dalam memimpin organisasi kemahasiswaan memiliki banyak tantangan, salah satunya karena dirinya seorang perempuan. Dari kisahnya, sejak awal proses pemilihan, perempuan berada pada posisi start yang minus. Perempuan perlu bekerja lebih keras agar bisa berada pada situasi yang setara dalam kontestasi politik kampus.
Tampaknya menyebut kampus miniatur negara menemukan keabsahannya. Setelah Presiden Prabowo mengumumkan komposisi kabinetnya, dari 41 menteri dan 7 menteri koordinator, hanya ada lima perempuan yang dipercaya menahkodai lembaga tinggi di negara. Meski jumlah 5 ini tergolong ‘not bad’ jika disandingkan dengan jumlah menteri di masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya. Namun dengan jumlah kementerian yang semakin gemoy, angka lima tergolong memprihatinkan di tengah semakin melimpahnya perempuan yang punya kapasitas untuk menjadi pemimpin di berbagai sektor.
Peminggiran perempuan dalam politik Selain komposisi kabinet, ‘owalah moment’ juga terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengumumkan 13 komisi bidang kerja selama lima tahun ke depan. Di Komisi VIII yang mengurusi agama, sosial, perempuan dan anak, kelima pimpinannya adalah laki-laki! Hal ini bukan lagi sebuah ketimpangan, melainkan pernyataan secara terbuka adanya peminggiran terhadap perempuan di panggung politik.
Perempuan bahkan tidak diizinkan untuk mengurus urusannya sendiri! Saya tidak menyangkal bahwa sebagian laki-laki punya perspektif kesetaraan yang baik. Akan tetapi kelima orang yang memimpin bukanlah figur yang selama ini memiliki rekam jejak perjuangan pada isu-isu perempuan dan anak. Bahkan sebagian di antaranya merupakan aktor kunci dari berlarut-larutnya pengesahan RUU PKS (yang kini jadi UU TPKS). Di tengah berbagai upaya afirmatif untuk memenuhi angka keterwakilan perempuan dalam politik, berbagai rentetan peristiwa di atas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang ironis.
Sejak pertama kali diteken pada tahun 2000 oleh Gus Dur, Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender masih mengalami situasi yang stuck. Desain kebijakan yang dipersiapkan oleh Gus Dur untuk menjadikan perempuan sebagai subjek belum mampu diwujudkan hingga nyaris seperempat abad setelah ditetapkan. Mengabstensi perempuan dari urusan perempuan adalah bentuk objektifikasi yang paripurna dari sistem politik kita hari ini.
Hal ini bukan semata wujud ketidakkompetenan DPR dalam merumuskan berbagai rencana kerja dan strateginya. Lebih jauh, karena pimpinan komisi merupakan kewenangan fraksi, problem terbesarnya justru ada di kepala politisi dan partai politiknya. Dengan realitas peminggiran yang sedemikian, saya memafhumi mengapa kuota perempuan sulit untuk dipenuhi setiap tahunnya.
Dalam berbagai kesempatan, politisi kerap menyebut kurangnya kader perempuan di setiap daerah. Namun kita perlu memasang kaca mata skeptis terkait pernyataan itu. Apakah benar mereka sudah mengupayakannya atau justru terjadi praktik peminggiran di berbagai proses pelibatan perempuan? Saya tidak tahu apakah formasi pimpinan komisi ini bisa diubah atau tidak. Namun jika partai politik punya iktikad baik, sudah semestinya mereka akan memberikan ruang bagi perempuan untuk mengurus ‘urusannya’. Perempuan menjadi subjek bagi dirinya, bukan justru diobjektifikasi. Kita tunggu saja.
Sarjoko S.
Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kini mengandi di Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia.