Jalanhijrah.com-Gusdurian Yogyakarta, pada waktu Bulan Ramadan mengadakan Ngaji Gusdur setiap hari senin-kamis. Kegiatan tersebut dilakukan untuk merefleksikan kembali pemikiran-pemikiran Gus Dur melalui tulisannya. Pada hari rabu (06/04/22) kemarin, tulisan yang Gus Dur yang dibahas yakni tentang Islam dan Orientasi Bangsa.
Gus Dur, dalam tulisannya selalu menarik pembaca untuk berpikir ulang, bagaimana gagasannya beberapa tahun silam, selalu relevan dengan saat ini. Bantahannya kepada orang-orang yang menolak demokrasi sebagai sistem yang dipakai oleh negara Indonesia, masih menjadi perdebatan klasik yang tidak boleh kita tinggalkan, bahkan wajib kita diskusikan sebagai penerus bangsa Indonesia.
Artinya, kesadaran bahwa kelompok-kelompok yang menolak demokrasi, sudah dibahas oleh zaman Gus Dur. Kalau kita kaitkan dengan fenomena hari ini, kelompok-kelompok yang masih mempertentangkan relasi antara negara dengan Islam, melalui narasi klasik yang muncul, menjadi ejawantah untuk kita membantah narasi yang bermunculan.
Melalui tulisan tersebut, Gus Dur menyebut nama Abul A’la Al-Maududi, salah satu pemikir Islam pada abad 20, merupakan salah satu orang yang menentang demokrasi. Baginya, demokrasi adalah yang hal yang tidak ada dalam aturan Islam. Implementasi dari Islam sesungguhnya, menurut Abul A’la Al-Maududi, adalah sistem negara Islam yang harus diterapkan dalam sebuah negara, sebagai bukti bahwa Islam secara kaffah harus ditegakkan.
Apa yang disampaikan oleh Gus Dur beberapa tahun silam, kiranya cukup menjawab bagaimana keresahan untuk menolak kelompok-kelompok yang menolak sistem pemerintah yang diterapkan di Indonesia karena tidak berasaskan Islam. Tokoh-tokohnya sangat banyak. Mulai dari aliran yang lembut hingga keras. Seperti halnya: Aman Abdurrahman, Abu Bakar Ba’asyir, hingga kelompok-kelompok Ismail Yusanto, dkk.
Islam sebagai etika sosial
Munculnya perdebatan dalam tulisan tersebut yakni pengelompokan antara Islam formal dan Islam non formal. Seperti apa pengaplikasiannya? Islam formal berpacu kepada keformalam Islam sebagai jalan hidup yang mengatur kehidupan manusia. Aturan-aturan Islam secara kompleks dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks ini, Islam formal mendasar kepada ajaran Islam yang dijadikan aspirasi. Islam tampil sebagai agama yang kaku, masuk ke dalam pelbagai aturan negara, dimana negara tersebut terdiri dari banyak sekali agama di dalamnya. Posisi Islam sebagai aspirasi tidak berkembang sesuai zaman. Sebab yang tampil adalah Islam sesuai dengan madzhab yang dianut. Dengan demikian, akan potensi untuk memecah belah bangsa, khususnya bangsa Indonesia yang beragam.
Sebaliknya, jika Islam non formal atau Islam sebagai inspirasi dalam kehidupan. Menjadikan Islam sebagai rahmat yang bisa kompatibel dalam menjawab seluruh tantangan, perbedaan yang cipta di tengah-tengah masyarakat. Mengikuti perkembangan zaman, Islam tampil sebagai agama yang ideal untuk menjadi solusi dari setiap masalah yang dialami oleh masyarakat.
Sebagai implementasi, kehadiran sistem negara yang diterapkan oleh Indonesia, dengan tidak mengatasnamakan Islam, membuktikan bahwa, Islam oleh para founding fathers kita, dijadikan sebagai inspirasi untuk berada di jalur yang pasti dalam menyikapi multikulturalisme Indonesia.
Dua arus paradigma beragama yang harus kita pahami
Sejalan dengan topik di atas, perlu kiranya untuk menelaah apa yang disampaikan oleh Prof Syafi’i Anwar. Pertama, praktik beragama yang substantif-inklusif. Kedua, praktik beragama yang eksklusif-legal formalistik.
Paradigma substantif-inklusif, yakni praktik beragama bertumpu pada nilai-nilai yang substantif, dan membuka ruang hidup bersama dalam ikatan kemanusiaan dan kebangsaan. Pandangan ini mengutamakan konsep ukhwah(persaudaraan).
Dalam persaudaraan, kita memahami bahwa persaudaraan memiliki arti yang sangat luas. Persaudaraan atas dasar kemanusiaan, landasan kebangsaan, hingga persaudaraan sesama umat muslim. Tiga kriteria persaudaraan ini penting untuk dimiliki oleh manusia dalam menjalankan relasi antar sesama.
Dengan peradigma ini, kondisi Indonesia sebagai negara yang plural. Paradigma substantif-inklusif menjadi paradigma yang perlu ditegakkan untuk melihat konteks keberagaman Indonesia. Ajaran Islam yang hadir di Indonesia jika melihat pengaplikasiannya, adalah memiliki paradigma tersebut. sebab itu, kemanusiaan menjadi sangat penting untuk dijunjung oleh bangsa Indonesia dalam mengeratkan persatuan dan kesatuan.
Sebaliknya, paradigma eksklusif-legal formalistik berkebalikan dengan penjelasan di atas. beberapa orang memiliki paradigma bahwa, Islam harus tampil sebagai agama yang mengikat semua orang, bahkan orang yang tidak memeluk agama Islam. Hal ini bertentangan dengan kemanusiaan seseorang yang memiliki hak untuk memilih agama dan keyakinannya masing-masing. Wallahu a’lam
Penulis: Muallifah Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bisa disapa melalui instagram @muallifah_ifa