Jalanhijrah.com-Setiap manusia pasti berkeinginan untuk hidup sehat dan bahagia. Namun terkadang harus ada ujian berupa sakit. Sakit itu sendiri ada sakit fisik dan sakit rohani. Mungkin kalau sakit fisik sudah lumrah mudah untuk mengobatinya, tetapi penyakit rohani sering kali tidak bisa disadari dan susah untuk mengobatinya. Contoh penyakit hati adalah ujub dan dengki.
Ujub dan dengki seringkali hadir dalam hati kita. Semisal, ada rasa bangga ketika mendapat anugerah dari Allah yang berujung pada kesombongan dan tidak menyadari bahwa Tuhanlah yang memberikan anugerah itu. Juga, rasa tidak senang ketika seseorang mendapatkan nikmat. Kedua penyakit ini mesti kita jauhi, karena kita akan lupa untuk bersyukur kepada Allah.
Biasanya buah dari sikap ini, kata al-Ghazali, adalah obral keakuan: gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis la’natullah katakan ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, “aku lebih baik dari Adam. Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah” (QS al-A’raf:12).
Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar bisa keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.
بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك
“Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu perkara ghaib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu.”
Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu. Kedua, bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu.
Ketiga, bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagaimana mungkin kau sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?. Keempat, bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.
Kelima, bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khâtimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (sûul khâtimah). Dengan demikian, muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang sekarang kafir mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan Allah.
Betapa cemerlangnya pemikiran Imam al-Ghazali yang hendak menutup peluang timbulnya ujub dan dengki dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah beliau ingin mengatakan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk introspeksi (muhâsabah) kepada diri sendiri ketimbang sibuk menghakimi kualitas diri orang lain. Sebab, hakim sejati hanyalah Allah dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhirat, bukan di dunia ini.
Imam an-Nawawi pun memberi tips untuk memusnahkan rasa dengki dan ujub.
وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْعُجْبِ: أَنْ يُذَكِّرَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَمْ يُحَصِّلْ مَا حَصَّلَ بِحَوْلِهِ وَقُوِّتِهِ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْجَبَ بِشَيْءٍ لَمْ يَخْتَرِعْهُ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ الله تَعَالَى.
“Cara menghilangkan kebanggaan ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya. Namun itu merupakan anugerah dari Allah ﷻ, dan tidak patut baginya untuk berbangga karena sesuatu yang tidak diciptakannya, semata-mata itu merupakan anugerah dari Allah ﷻ.” (Imam an-Nawawi, at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qur`ân, Dar el-Minhaj, halaman 70)
وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْحَسَدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ حِكْمَةَ اللهِ تَعَالَى اقْتَضَتْ جَعْلَ هَذِهِ الْفَضِيْلَةِ فِي هَذَا، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَعْتَرضَ عَلَيْهَا وَلَا يَكْرَهَ حِكْمَةً أَرَادَهاَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكْرَهْهَا. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Cara menghilangkan sifat iri yaitu dengan menyadari bahwa hikmah Allah lah yang menghendaki adanya karunia tersebut, maka patutnya ia tidak menyanggah dan membenci hikmah yang telah Allah kehendaki dan tidak Allah benci. Wallahu a’lam…”
Dengan penjelasan Tips Imam Ghazali dan Imam an-Nawawi yang simpel dan mudah kita pahami, setidaknya kita dapat meraba-raba bagaimana sikap untuk mencegah masuknya dengki dan ujub ke dalam hati kita, sehingga kita bisa menjaga dan menjauhinya. Semoga kita selalu dijaga Allah ﷻ dari segala penyakit hati yang akan merugikan kita, di dunia maupun di akhirat. Amiin
Abdur Rahmad, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid, Probolinggo