Mewaspadai Para Aktivis Khilafah yang Menumpangi Perayaan Maulid Nabi

Jalanhijrah.com-Hari Minggu (8/10) kemarin, suasana tenang di Kota Sumedang terguncang oleh suara ramai dan semangat berkobar. Di tengah udara pagi yang sejuk, sebuah pawai terbentuk. Tetapi pawai tersebut tak seperti pawai Maulid Nabi biasa, yang diisi dengan sukacita dan keceriaan. Di balik kegembiraan tersebut, terdapat lapisan kehidupan sosial-politik yang sangat kompleks dan menarik untuk ditelaah.

Acara tersebut dimulai jam 07.00 WIB di Masjid Tegalkalong, Sumedang. Ratusan orang, dari Komunitas Peduli Syariah Sumedang (KPSS), berkumpul menggelar pawai Maulid Nabi. Tausiah diisi oleh ustaz Mohamad Syaid, tokoh KPSS. Sebanyak 250 orang, termasuk peserta longmarch dan kendaraan pengeras suara, berpartisipasi. Pawai dipimpin oleh Koordinator KPSS dan ustaz Hendra Yana, eks-Ketua HTI Kabupaten Sumedang.

Itulah menariknya. Dari luar tampak bahwa acara itu untuk merayakan kelahiran Nabi. Namun, di baliknya, terdapat tujuan terselubung para peserta: memperkuat gerakan khilafah dengan menyamarkan agenda politik mereka melalui acara keagamaan. Kamuflase semacam itu sudah kerap mereka lakukan. Mau Isra’-Mikraj, Maulid Nabi, atau apa pun, semua hanya kedok belaka untuk menutupi agenda khilafahisasi.

Faktanya, yang terlibat dalam acara tersebut adalah para aktivis khilafah yang berusaha memasukkan agenda politik ke dalam konteks perayaan agama—Islam. Mereka coba memanfaatkan momentum Maulid Nabi untuk menyebarluaskan pandangan mereka tentang pentingnya khilafah ditegakkan sebagai sistem pemerintahan Islam. Maulid Nabi, dengan demikian, sudah ditumpangi.

Baca Juga  Internalisasi Hubbul Wathan Minal Iman untuk Menangkal Radikalisme

Perayaan Maulid Nabi yang semestinya jadi momen spiritualitas dan kedamaian, malah dijadikan panggung menyuarakan transnasionalisme yang anti-NKRI dan anti-Pancasila. Dengan Maulid Nabi sebagai katalisator, mereka hendak memengaruhi pikiran orang banyak, membangun citra baik mata masyarakat—menyembunyikan identitas ke-HTI-annya. Tentu saja ini merupakan ironi dan karenanya harus diwaspadai agar tidak terjadi lagi.

Tantangan Masyarakat-Pemerintah

Untuk menghadapi situasi semacam ini, kesadaran tentang potensi manipulasi perayaan agama sebagai agenda indoktrinasi adalah tantangan bersama. Edukasi dan pemahaman memadai ihwal nilai-nilai Islam yang esensial dapat melindungi masyarakat Muslim dari agitasi politik yang terkamuflase sebagai agenda keagamaan. Tidak hanya untuk masyarakat, pemerintah juga memiliki tantangannya sendiri akan hal ini.

Pemerintah, mau tidak mau, mesti mengemban tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan agama sebagai kepentingan politik. Monitoring ketat terhadap acara keagamaan serupa dan tindakan preventif terhadap agitasi politik dalam konteks keagamaan adalah langkah-langkah yang krusial dan tidak dapat ditawar. Jika tidak, HTI dan para aktivis khilafahnya akan semakin tidak terkendali.

Dengan demikian, masyarakat dan pemerintah perlu bersatu untuk melindungi negara ini dari rongrongan aktivis khilafah. Penggunaan acara islami, seperti Maulid Nabi, sebagai kendaraan diseminasi khilafahisme mesti diwaspadai. Dengan wawasan mendalam ihwal religiusitas dan nasionalisme, kita dapat membangun masyarakat yang kuat, bersatu, dan tidak mudah terpengaruh oleh upaya manipulasi agama.

Baca Juga  Hijrah Online: Mensterilkan Ruang Maya dari Ujaran Kebencian

Tentu tantangan ini tidak perlu disikapi dengan sentiment anti-Maulid. Perayaan kelahiran Nabi merupakan tradisi yang baik, yang di Indonesia digawangi Nahdlatul Ulama. Namun tradisi ini lumrahnya digelar di masjid atau musala, bukan pawai jalanan. Artinya, apa yang telah para aktivis khilafah lakukan di Sumedang kemarin justru jauh dari nilai-nilai tradisi Maulid Nabi yang selama ini lumrah di Indonesia bahkan dunia.

Tantangan masyarakat tidak terletak pada aspek Maulid Nabi. Kewaspadaan yang dimaksud ialah kepekaan terhadap manipulasi aktivis HTI atas tradisi ke-Aswaja-an. Adalah ironi jika Maulid Nabi malah jadi bahan propaganda mereka. Kendati dilakukan secara damai tanpa aksi kekerasan dan sejenisnya, pawai Maulid Nabi sambil nenteng-nenteng bendera HTI adalah kegiatan yang harus dijauhi—bahkan dilarang oleh otoritas terkait.

Mengembalikan Esensi Maulid

Perayaan Maulid Nabi di Indonesia sudah menjadi kegiatan rutin bulan Rabiul Awal. Bergembira atas lahirnya Rasulullah merupakan keniscayaan di kalangan Aswaja. Berbeda dengan para penganut Wahabi yang anti-maulid karena menganggapnya bid’ah. Baik Wahabi maupun HTI sejatinya sama-sama salah kaprah. Wahabi menolak maulid, HTI malah memanfaatkannya untuk kepentingan ideologis mereka.

Untuk itu, Maulid Nabi perlu dikembalikan ke makna esensialnya. Paling sedikitnya ada tiga substansi maulid yang mesti menjadi kesadaran bersama. Pertama, penghormatan dan pengabdian demi mengasah spiritualitas. Saat perayaan Maulid Nabi, umat Muslim merenungkan kehidupan Nabi dan mencoba menggali hikmah di balik lantunan barzanji dan selawat-selawat. Jika khusyuk, seseorang bahkan bisa sampai menangis.

Baca Juga  Tantangan Islam Nusantara dan Dilema Kesalehan Virtual

Mengapa? Karena itu adalah momen introspeksi: umat Islam bermuhasabah dan mencari cara mengasah kualitas spiritualitas mereka. Kedua, menyatukan manusia dalam toleransi dan perdamaian. Pesan universal Nabi tentang cinta tanpa memandang perbedaan etnis, agama, atau sosial dapat memotivasi kita, umat Islam, untuk merangkul keragaman dan memperjuangkan perdamaian—mencontoh keteladanan Rasulullah.

Ketiga, berniat tabarruk alias mengharap berkah dengan menghidupkan sunah. Maulid Nabi juga mengajarkan kita tentang keberkahan hidup. Melalui perayaan Maulid Nabi, umat belajar menghidupkan sunah dalam kehidupan sehari-hari: mendorong kebaikan, kemurahan hati, dan perdamaian—menciptakan komunitas yang penuh kasih dan kepedulian. Ini selaras dengan kandungan Al-Qur’an surah Ali Imrah [3]: 31.

Dari tiga esensi tersebut, apakah pawai Maulid Nabi kemarin termasuk di dalamnya? Tampaknya tidak. Ketika sang ustaz, sang orator, mengajak umat cinta Nabi, itu sangat baik. Namun ketika kecintaan tersebut dipelintir dengan mendirikan khilafah, itu sudah masuk ranah indoktrinasi. Dan inilah yang mesti diwaspadai bersama. Sebab, mereka hanya menumpangi Maulid Nabi belaka, tidak benar-benar merayakannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *