Mengukur Kesiapan Pendidikan Multikultural di Kancah Politik 2024

Jalanhijrah.com – Terlepas dari isu-isu politik menjelang pemilu 2024, yang pasti tantangan masyarakat menghadapi isu radikal, politik identitas, hingga ujaran kebencian adalah yang menjadi concern utama kita semua. Seperti yang pernah diramalkan salah satu Guru Besar Studi Agama dan ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest, Charles Kimball menerangkan bahwa agama akan menjadi penyebab berbagai konflik disintegrasi negara.

Menjadi perhatian bersama bahwa realitas masyarakat yang terjadi menjelang pemilu sering sekali dibentur-benturkan oleh isu-isu pengalihan. Entah nanti yang tiba-tiba diberitakan isu globalisasi, isu sentimen-agama, ras, etnis, gender hingga radikal. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan tantangan para generasi Z untuk tidak terjebak pada kepentingan pribadi yang berujung konflik.

Memang tidak dapat dibantah fakta bahwa konsep persatuan multikulturalisme hingga moderasi saat ini dirasa belum maksimal. Hal itu ditandai dengan konflik sosial dan resolusi konflik yang belum usai (unfinished conflict resolution). Sebut saja physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, dan pembakaran, menggunakan agama atau etnis sebagai simbol perjuangan. Terlebih paham-paham radikal yang seperti fenomena gunung es, tidak ada habis-habisnya.

Berkaca pada tahun 2014 dan 2019 kita menyaksikan bagaimana polarisasi pendukung para kandidat yang terfragmentasi secara konfliktual dan masif. Islam juga menjadi sasaran pendukung kandidat untuk mencuri suara dan perhatian masyarakat. Mengingat di Indonesia agama Islam adalah agama dengan jumlah terbanyak di dunia.

Maka pada tahap selanjutnya, antar ormas dan golongan saling membentuk pattern budaya politik yang konfliktual. Di antara segmen upaya untuk meredam konflik yang terjadi menjelang pemilu 2024 adalah dengan pendidikan multikultural. Melalui penanaman pendidikan multikulturalisme diharapkan segmen kehidupan saat ini semakin membaik dan bina-damai saat ini. Lantas pertanyaan kita sekarang adalah apakah masyarakat sudah siap? Sudah paham secara penuh?

Baca Juga  Memberangus Akar “Soft-Terrorism”

Masyarakat Indonesia sejak sekolah dasar hingga SMA sebenarnya sudah terinternalisasi dengan pendidikan multikulturalisme, Akan tetapi sebagian masyarakat hanya mempelajarinya hanya sekadar teori saja. Setelah mereka dihadapkan di kehidupan nyata terkadang mereka seolah tidak paham apa yang dimaksud multikulturalisme. Padahal dalam kesehariannya masyarakat Indonesia jelas-jelas dihadapkan dengan berbagai perbedaan dan keragaman yang ada.

Pendidikan multikulturalisme yang tidak terserap secara penuh malahan seolah-olah menjadi pemicu konflik. Perbedaan dan keanekaragaman yang tidak disikapi secara dewasa justru dapat menimbulkan kesengsaraan dan perpecahan antar golongan. Menjadi perhatian bersama, jika multikulturalisme bergerak pada tahap ekstrem dengan asumsi setiap kebudayaan yang berbeda tidak bisa disatukan atau diharmoniskan, maka tidak akan terlekan akan munculnya rasisme, moral monism dan sektarianisme.

Pada dasarnya multikulturalisme adalah refleksi atas kesadaran dan pengakuan terhadap keragaman budaya. Menurut C.W. Watson antropolog asal California pada bukunya yang berjudul Multiculturalism pada tahun 1998, menerangkan bahwa masyarakat multikulturalisme adalah masyarakat suatu negara, daerah, wilayah, bahkan lokasi geografis seperti kota dan sekolah yang terdiri atas individu yang memiliki kebudayaan berbeda-beda dalam kesederajatan.

Multikulturalisme sejatinya bukan berbicara tentang perbedaan atau identitas yang berbeda, tapi tentang bagaimana merangkul dan menjaga kelestarian budaya, hal ini menjadi inti secara keyakinan dan praktis di dalam term di mana sekelompok orang dapat memahami diri mereka sendiri dan mengorganisir diri mereka sendiri untuk hidup bersama dalam masyarakat

Baca Juga  Serial Pengakuan Mantan ISIS (XLVIII): Mantan Pendukung ISIS Haris Amir Falah Taubat Setelah Dipenjara

Multikulturalisme menghendaki agar tidak ada dan terjadi superioritas atau hegemoni dan dominasi dari satu kelompok. Tidak adanya pemaksaan untuk menerima nilai-nilai kultural dan kepercayaan pada kelompok lain. Sebaliknya, multikulturalisme menghendaki agar kita dapat menerima bahwa masyarakat itu beragam dari berbagai dimensinya: adanya tindakan atau program keadilan bagi seluruh anggota masyarakat; adanya respons atau penyikapan positif atas keberagaman.

Konsep-konsep diatas hakikatnya perlu teredukasi secara penuh di masyarakat. Di tengah era disrupsi dengan segala bentuk perubahan yang cepat, masyarakat dihadapkan pada situasi rendahnya consensus pribadi dialogis dan tidak penuh dalam menyemai pendidikan multikulturalisme. Manifestasinya kita lihat di beberapa platform digital dimana klaim sepihak dan ujaran kebencian sudah menjadi hal yang lumrah di media sosial.

Ditambah lagi komodifikasi agama di ruang-ruang publik menghasilkan kebisingan yang tak terhindarkan. Termasuk, yang terkait dengan agama. Beragam kalangan–dari berbagai macam latar belakang dan kepentingan–terlibat dalam mengajukan rupa tafsir agama yang terkadang bertolak belakang dengan prinsip kenegaraan hingga berujung radikal.

Sebagai upaya penguatan antarumat beragama maka sektor pendidikan dan lembaga kerukunan antarumat beragama menjadi garis terdepan menjelang pesta politik 2024. Maka butuh effort yang sangat besar untuk menjaga dan mempertahankannya agar senantiasa utuh.

Terutama dalam persoalan agama, banyak sekali konflik yang mengenainya. Entah karena terdapat oknum yang memprovokasi, kesadaran integritas rendah, maupun kepentingan politik atau golongan.

Baca Juga  Sistem Khilafah Dipakai Untuk Jualan Agama

Selain dari institusi sosial masyarakat, pencegahan konflik dan bina damai yang bisa dilakukan adalah dengan mengonsep secara rapi tentang serpihan serpihan pendidikan multikultural. Sebut saja mengenai genuinitas masyarakat multikultur; dimana banyak praktik baik dan potret kerukunan yang ditampilkan di masyarakat. Kemudian, koeksistensi damai (peaceful coexistence) di mana kelompok yang berbeda secara identitas menyemai toleransi. Lalu, pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.

Dengan adanya beberapa praktik-praktik nilai multikultural seperti diatas, dapat menjadi banteng pertahanan menghadapi 2024 yang sudah di depan mata. Saya yakin jika semua lapisan masyarakat bersama-sama menyemai pentingnya multikultural maka toleransi masyarakat semakin naik, keterbukaan dalam dialog menjadi rukun dan disintegrasi bangsa dapat diminimalisir. Sehingga pendidikan multikultural adalah salah satu merawat kerukunan antar umat di Indonesia.

Penulis: Yusup Nurohman

Santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *