Memerdekakan Rahim Perempuan: Memanusiakan Perempuan

Jalanhijrah.com- Jangan nikah kelamaan biar bisa cepet punya anak

Buruan punya anak. Ntar rahimmu keburu expired. Jangan egois. Gimana mau bahagia keluarganya, hamil aja belum

 

Sebagai perempuan ujaran semacam ini pasti sudah akrab di telinga. Diikuti dengan beragam doa supaya kita ringan jodoh serta segera mendapat “titipan” anak dari Tuhan melalui rahimnya. Perempuan dan rahimnya memang selintas terasa seperti milik bersama. Milik orang tua yang berpindah pada suami, milik mertua dan segenap keluarga besar, milik komplek perumahan, hingga milik negara. Perempuan seperti seluruh aspek hidupnya selalu didikte supaya sesuai dengan konstruksi masyarakat akan keluarga dan masyarakat yang bahagia.

Karena itu rahim yang “dititipkan” Tuhan pada perempuan seolah menjadi alasan atas dibebankannya tanggung jawab terhadap reproduksi sosial dalam memproduksi keturunan serta generasi baru bangsa. Sehingga muncul anggapan perempuan adalah alat pencetak keturunan. Hal inilah yang seharusnya kita lawan sebagai bentuk upaya memerdekakan rahim perempuan.

 

Anggapan Perempuan sebagai Alat Pencetak Keturunan

Narasi mengenai perempuan baik salah satunya digambarkan sebagai seorang istri yang mampu memberi anak untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Belum lagi anggapan semakin banyak anak artinya semakin subur rahim perempuan tersebut yang sering dikaitkan dengan kemurahan rezeki. Sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan masyarakat “Semakin banyak anak, semakin banyak rezeki”. Sehingga, rahim perempuan, organ yang memegang peranan besar dalam keberhasilan proses menciptakan dan melahirkan manusia baru ke dunia ini.

Baca Juga  Kendala Perempuan dalam Menempuh Pendidikan: Stigma Masyarakat dan Budaya

Diharuskan mengemban tanggung jawab yang besar pula dalam keberhasilan pemenuhan ekspektasi dan proses regenerasi masyarakat. Hal-hal semacam ini pada akhirnya diam-diam menyelinap menjadi beban yang menindas perempuan, si empu rahim, secara fisik maupun psikis. Penindasan terhadap perempuan melalui rahimnya dapat kita temui dengan beragam rupa. Salah satunya, lewat cara masyarakat mengerdilkan nilai perempuan sebagai manusia hanya dari mampu atau tidaknya organ reproduksi mereka, dalam kasus ini rahim, untuk mengandung dan mengantarkan manusia baru ke dunia ini.

Tentunya ini menjadi beban yang harus ditanggung perempuan ketika mulai memasuki usia produktif. Ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengandung secara biologis, bahkan ketakutan mengenai mampu atau tidaknya ia menjadi seorang ibu. Perempuan dipaksa untuk mengadopsi nilai bahwa hamil dan melahirkan adalah kodrat perempuan yang wajib untuk dipenuhi supaya memenuhi standar masyarakat sebagai seorang perempuan yang utuh.

Kemudian, karena proses hamil dan melahirkan yang merupakan kodrat perempuan menjadikan perempuan sebagai subjek pasif. Di mana pendapat serta hak mereka untuk memilih dan berpendapat tentang apa yang ingin mereka lakukan terhadap tubuh mereka menjadi sesuatu hal yang didikte dan tidak dipedulikan masyarakat.

Namun, di kesempatan lain, ia menjadi subjek aktif ketika dalam keluarga terjadi kegagalan selama proses berusaha mendapatkan garis keturunan. Perempuan adalah pihak pesakitan yang harus disalahkan, rahim mereka adalah sesuatu yang perlu diobati, ketidakmampuan mereka adalah suatu dosa besar, bahkan mereka adalah para perempuan yang tidak utuh. Masyarakat lupa untuk melihat laki-laki atau sperma yang juga memiliki peluang sebagai pihak penyebab kegagalan saat upaya mendapatkan anak.

Baca Juga  Menlu Retno Marsudi Serukan Hentikan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Laki-laki sebagai kepala keluarga yang memiliki peran dominan di ranah publik dianggap tidak memiliki peran besar serta tanggung jawab di ranah privat. Misalnya, saat proses perencanaan dan berjalannya kehamilan. Kepemilikan rahim juga menyebabkan perempuan rentan mendapat kekerasan berbasis gender dalam pernikahan. Kegagalan memiliki anak, yang bisa terjadi karena berbagai hal, seringkali menargetkan perempuan sebagai samsak untuk meluapkan kekecewaan. Baik itu dari pihak suami dan keluarganya, maupun keluarga sendiri. Sebab, dianggap gagal memenuhi “kodrat dan tugas” mereka sebagai seorang perempuan dan istri.

Memerdekakan Rahim Perempuan

Masyarakat kita luput bahwa mereka telah memainkan peran besar dalam mengerdilkan perempuan sebagai manusia seutuhnya lewat pandangan. Begitu juga dengan tindakan yang sudah melembaga di struktur sosial bahwa perempuan dilihat dari kemampuan rahimnya matau untuk mengandung dan melahirkan anak. Karena itulah, ketika wacana childfree ramai dibicarakan, seorang influencer ternama Gitasav mengatakan ia memilih untuk tidak memiliki anak.

Masyarakat kita seketika kebakaran jenggot karena perempuan childless-tidak mampu memiliki anak-saja sudah dipandang sebagai cacat di masyarakat. Sehingga perempuan-perempuan yang berani menyuarakan pilihan terhadap rahim mereka dan memutuskan untuk childfree tentunya akan segera diserang. Mereka dianggap mengganggu nilai-nilai sosial yang sudah susah payah dibangun masyarakat. Hal ini tentu saja dikarenakan rahim perempuan selama ini dianggap sebagai milik bersama, membuat masyarakat merasa berhak untuk mendikte perempuan atas tubuh dan hak reproduksinya.

Baca Juga  Ummu Aiman ra., Ibu Asuh Rasulullah saw. yang Pemberani

Padahal, bagaimanapun juga perempuan sebagai si empunya maka mereka adalah pihak yang paling berhak dalam mengambil keputusan atas rahimnya. Sehingga, memberi kemerdekaan kepada perempuan atas rahim mereka merupakan salah satu bentuk nyata untuk memanusiakan perempuan dan mengembalikan kembali apa yang memang menjadi hak mereka sedari awal.

Penulis

Annisa Azzahra, anggota puan menulis

 

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *