Jalanhijrah.com– Diskursus wacana kehidupan umat beragama selalu berkelindan hubungan dengan yang transenden. Wacana yang direpresentasikan melalui relasi vertikal dengan Tuhannya menciptakan suatu kebermaknaan, karena merupakan hubungan yang sakral. Agama hadir menjadi penanda kebermaknaan. Kendati eskatologis—dalam terminologi Weber—tetap dibutuhkan sebagai pemandu kehidupan umat manusia di muka bumi.
Agama menjadi suluh yang memandu karena aspek ontologis, eskatologis, filosofis, dan etis dibahas. Agama mengajarkan kepada pemeluknya ihwal hakikat hidup (ontologis) , kehidupan setelah kematian (eskatologis), menaja hidup secara bijak dan bajik (filosofis), berperilaku baik kepada sesama tanpa tedeng aling-aling (etis), dan pelbagai ajaran kebaikan lainnya.
Dalih semacam inilah yang membikin agama senantiasa hidup di relung pemeluknya. Eksistensinya tak akan memudar seiring laju perkembangan zaman. Di tengah keberingasan zaman, agama bak oase yang menyejukkan. Percikan tirta ajaran adiluhungnya senantiasa diteguk, karena merasa dahaga spiritualitas. Inilah suatu realitas keberagamaan yang belakangan sering diasosiasikan dengan kehidupan masyarakat urban.
Segendang sepenarian dengan realitas tersebut, Roger Gaudy dalam Mencari Agama pada Abad XX : Wasiat Filsafat Roger Gaudy memanggungkan transendensi sebagai kunci penyelamatan manusia modern. Modernitas yang melahirkan anak kandung “materialisme”, gagal membawa kebahagiaan. Bagi Gaudy, transendental dalam arti spiritualitas ampuh menyolusi pelbagai persoalan pelik masalah-masalah modern.
Terbiasa berpikir rasional dan kreatif, realitas hidup masyarakat urban mengerahkan kerja rasionalnya pada kepentingan duniawi, sementara agama dianggap urusan ukhrawi belaka. Mereka bertendensi menjadikan agama sebagai sesuatu yang sekunder, bukan yang way of life (pandangan hidup). Sebagai yang sekunder, agama dibutuhkan pada saat masyarakat urban mengalami alienasi.
Dari alienasi inilah mereka merasa perlu mencari sumber alternatif pegangan hidup, dan mereka menemukannya di agama. Tren keberagamaan mutakhir muslim perkotaan selalu merujuk fenomena “hijrah”, sebenarnya merupakan perwujudan dari kondisi alienasi itu menuju pencarian kebahagiaan batin.
Motif hijrah yang disemarakkan dengan menghadiri pelbagai pengajian akhir-akhir ini, misalnya,—bagi Aksin Wijaya saat menulis Fenomena Keberagamaan Masyarakat Kota—lebih didorong oleh kesadaran alienasinya, dari pada kesadaran keberagamaannya sendiri. Merasa teralienasi dengan segenap kegamangan yang menerungku, laku spiritual dengan sungguh mereka taja. Saat berikhtiar mencari sumber tirta spiritualitas itu, masyarakat urban mesti dihadapkan pada tiga dialektiga yang terjadi secara simultan ; Internalisasi, Objektifikasi, dan Eksternalisasi terhadap ajaran agama.
Kelindan Tiga Dialektika
Dalam teorinya Konstruksi Sosial, sosiolog Peter L . Berger, menilik agama sebagai bagian dari kebudayaan merupakan konstruksi manusia. Sebagai konstruksi, agama diinterpretasi untuk dijadikan sebagai penuntun dan pandangan hidup. Itu artinya, agama telah mengalami proses internalisasi ke dalam diri manusia.
Saat masyarakat urban merasa dirinya teralienasi, bergumul dengan doktrin agama menjadi semacam kebaruan yang tak terelakkan. Mereka menganggap ajaran agama yang disampaikan para dai merupakan hal yang baru dan menggugah. Ia, ajaran agama, lalu diteguk sebagai upaya pemuas dahaga spiritualitas itu, atau diinternalisasi.
Ajaran agama yang diteguk, tentu sudah melalui proses internalisasi pula berupa interpretasi terhadap teks dan norma agama dari para dai. Sebagai suatu pandangan teoretis atau pemberian kesan terhadap sesuatu, interpretasi mesti berakhir pada dua kutub ; tekstual dan kontekstual. Hasil penyampaian dari interpretasi keduanya pun amat lah berbeda.
Para dai yang memberikan interpretasi secara tekstual pada muaranya cenderung berorientasi terhadap corak beragama yang ekslusif. Karena wacana keberagamaan yang disampaikan, bertolak dari logika nalar biner hitam-putih dan justifikasi halal-haram. Sehingga untuk menarik masyarakat urban pada konteks apa yang mereka anggap benar, amat lah mudah. Karena dianggap sebagai yang the ultimate concern (hal yang begitu mendalam memengaruhi jiwa, dan emosi manusia).
Padahal apa yang disampaikannya tidak menutup kemungkinan memiliki kecenderungan mengisolasi wawasan yang lain, ihwal wawasan kebangsaan yang bertaut dimensi persatuan, misalnya. Justru dengan segala upaya memanggungkan teks dari pada konteks itulah yang kian memajalkan ruh wawasan kebangsaan. Tak mengherankan jika belakangan kota sebagai lokus industrialisasi, menjadi tempat menjamurnya benih arogansi beragama yang muncul dari beberapa kalangan yang baru meneguk tirta spirtualitas itu.
Azyumardi Azra dalam Religiusitas Masyarakat Urban (Republika, 13 Juli 2017), mengungkap gejala lain religiusitas sebagian warga Muslim di lingkungan urban adalah munculnya berbagai kelompok spiritual seperti zikir massal yang berbeda dengan Sufisme Konvensional. Bagi Azra, kelompok zikir ini selain menyelenggarakan ibadahnya di perumahan, hotel atau gedung juga jalan raya, memblokir jalanan sehingga mengganggu lalu lintas, serupa film fiksi ‘Aku adalah Kau’ yang sempat kontroversial itu.
Realitas yang diulik Azra sebenarnya sebentuk konfirmasi dari sikap dan perilaku keagamaan masyarakat urban mutakhir dengan basis keilmuan agama yang tidak terlalu ketat. Ada hasrat menggebu untuk mengekspresikan ajaran agama kala usai menginternalisasi ceramah keagamaan yang memukau dari para dai. Padahal, tidak selamanya isi ceramah yang disampaikan itu selalu bertaut dengan dimensi kebangsaan dan kemanusiaan.
Di sinilah pentingnya melakukan semacam proses objektifkasi terhadap apa yang mereka internalisasi ke dalam dirinya . Sebagai keberlanjutan dari proses internalisasi (penerimaan terhadap ajaran agama), objektifikasi berperan sebagai medium filterisasi kebenaran. Dalam proses objektifikasi, pendefinisian terhadap paradigma keagamaan sang dai menemukan momentumnya untuk diformulasikan kembali, atau dicerna ulang.
Jika ceramah tersebut bertendensi tekstual provokatif, maka mereka akan memilah dan memilih bulir hikmah yang masih berserak, bukan menampiknya begitu saja. Pemahaman mereka terhadap muatan konten keagamaan yang disampaikan para dai dibentuk dalam proses objektifikasi ini. Beragam cara dapat ditempuh sebagai perwujudan dari proses objektifikasi, salah satunya dengan cara memahami konteks sanad keilmuan sang dai.
Mengetahui sanad, atau jejaring mata rantai keilmuan, berperan penting ketika seseorang hendak belajar agama. Dengan mengetahui sanad keilmuan inilah seyogianya akan memantapkan keyakinan : bahwa ajaran Islam yang disampaikan memiliki koneksi langsung dengan Rasullah Muhammad Saw.
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Saw, tidak sedikit pun menimbulkan kesan keangkuhan. Ia senantiasa membumi sebagai agama Rahmatan Lil Alamin. Ini tercermin dalam perilaku luhur Nabi Saw dalam menapaki tiap dinamika keumatan kala itu. Di mana dalam menyampaikan misi profetiknya itu, tidak sedikitpun ada tendensi merendahkan kelompok lain.
Diutusnya Nabi Saw tentu untuk menjadi sumber atau referensi dalam beragama Islam. Karena itu, proses edukasi dan transmisi ajaran Islam dari beliau kepada umatnya didokumentasikan dalam mata rantai (sanad) kelimuan. Metode sanad dalam ilmu hadis merupakan metode ilmiah yang begitu selektif dan objektif dalam menjaga otensitas, orisinalitas, dan substansi ajaran Islam yang bersumber dari Nabi Saw (Muhbib Abdul Wahab ; 2021).
Tanpa sanad yang jelas dan otoritatif, niscaya seseorang yang hendak menyampaikan ajaran agama akan berbicara ihwal tetek-bengek agama sesuai selera hawa nafsu dan kepentingan subjektifnya. Hanya dengan sanad keilmuan lah, masyarakat urban tidak bersikap taklid buta, tetapi mengembangkan budaya ittiba’ (mengikuti dalil dan dasar keilmuan yang kuat) amal ibadah yang diteladankan Nabi Saw.
Hal ini akan memiliki konsekuensi logis terhadap laku keberagamaan yang hendak mereka ekspresikan. Ekspresi keberagamaan masyarakat urban merupakan ejawantah dari proses eksternalisasi. Ia dapat mewujud eskpresi keberagamaan yang inklusif dan ekslusif, tergantung pemahaman atau proses objektifikasi ajaran agama yang dicerna.
Jika menerima ajaran agama (internalisasi) tanpa melalui pemahaman yang komperhensif dengan mengetahui sanad keilmuan (objektifikasi), maka ia bisa saja terjebak pada kunkungan tekstualitas ceramah dai. Inilah yang membikin mereka pada akhirnya cenderung ekslusif dalam beragama. Alih-alih memuaskan dahaga spiritualitas, justru membikin tindakan keberagamaannya mengacuhkan persoalan yang lain, serupa kelompok zikir yang memblokir jalan, misalnya.
Realitas semacam itu meneguhkan bahwa proses internalisasi, objektifikasi, dan eksternalisasi begitu penting untuk didialektikakan kembali dalam ikhtiar meneguk tirta spiritualitas di kalangan masyarakat urban. Agar dalam memaknai agama tiba pada suatu kesimpulan keseimbangan berpikir, tidak arbitrer. Semoga.
Penulis: Muhammad Ghufron Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.