Jalanhijrah.com-Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan asli produk Indonesia menjadikannya sebagai tonggak peradaban bangsa Indonesia. keberadaan lembaga pendididikan tersebut dimulai dari datangnya Islam ke Nusantara yang kita kenal dibawa oleh Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam.
(Abdurrahman Mas’ud:2004) menjelaskan bahwa Posisi pesantren yang hadir pada abad sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa awal masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para walisongo, menjadikan pesantren sebagai tempat yang luwes, dan menjawab bahwa pendidikan agama tidak hanya diperuntukkan bagi penguasa saja, akan tetapi terbuka untuk semua lapisan masyarakat.
Kenyataan ini membuat kita memahami bahwa kehadiran pesantren untuk masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sudah memberikan pengajaran, pembinaan dan menjadi lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat khususnya pendidikan agama.
(Endang Turmudi: 2004) menjelaskan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. dalam sistem pesantren, paling tidak ada 3 unsur yang saling terkait, diantara: pertama adalah kiai sebagai faktor utama mengapa pesantren itu ada. Kedua, adalah santri, sebagai murid yang belajar, ketiga adalah pondok sebagai tempat yang digunakan oleh kiai dan santri dalam melakukan pembelajaran.
Kiai, santri dan pondok pesantren merupakan unsur yang penting dalam berlangsungnya proses pembelajaran. Meskipun demikian, pada tahap selanjutnya perkembangan pesantren di beberapa daerah sudah semakin berkembang. Pesantren tidak hanya terdiri dari tiga unsur di atas, sebab sudah membutuhkan pengurus, fasilitas yang dibutuhkan oleh santri, pengelolaan pesantren yang bisa menjangkau kebutuhan santri untuk masa depannya, hingga metode pembelajaran serta media yang sesuai dengan zaman.
Kenyataan ini membuktikan bahwa dinamika perkembangan pesantren untuk menjawab tantangan zaman terus bergulir. Meskipun demikian, perlu kita pahami bahwa masih ada pesantren yang mempertahankan ketradisionalannya dengan bertumpu pada metode pembelajaran tradisional, kajian kitab kuning, serta tidak tercampur dengan kajian-kajian keilmuan lainnya. Sehingga para santri yang belajar di pesantren tersebut harus memahami betul atas pilihannya untuk berkhidmat mempelajari keilmuan itu.
Di tangan santri ada masa depan Indonesia
Soetomo, seperti yang dikutip dalam buku Ahmad Baso: 2015 dalam bukunya yang berjudul “Pesantren Studies (Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya” menyampaikan bahwa sistem pesantren, ada beberapa karakter yang ada di dalamnya, diantaranya: pengetahuan pada murid-muridnya, memberi alat untuk berjuang di dunia, pendidikan yang bersemngat dan kebangsaan cinta kasih pada nusa dan bangsa khususnya pada dunia dan sesama umat-umatnya, murid-murid akan menyediakan diri untuk menunjang keperluan umum, dan kekuatan batin di didik; kecerdasan roh diperhatikan dengan sesungguh-sungguhnya.
Kelimat karakter itulah yang membuat sistem pesantren menjadi basis pendidikan kegamaan dan nasionalis yang bisa menjadikan santri dalam membangun peradaban bangsa dan negara.
Ghirah perjuangan pesantren dalam menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia, pada saat sebelum kemerdekaan diwujudkan dalam berbagai perlawanan yang dilakukan untuk mengusir penjajah dan upaya meraih cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Kiai untuk masyarakat
Tidak kalah pentingnya yakni posisi kiai di tengah-tengah masyarakat sebagai figur yang dijadikan cerminan bagi masyarakat. Dalam strata masyarakat Madura, misalnya. Kiai menempati posisi tertinggi sebagai salah satu kelompok yang dawuhnya menjadi priroitas utama dalam relasi sosial masyarakat Madura.
Hal ini karena kiai sebagai kelompok masyarakat yang memiliki keilmuan agama lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Panutan serta cerminan yang ditampilkan dalam ekspresi keberagamaan dari keilmuan yang dimiliki, menjadikannya sebagai sosok yang difigurkan oleh masyarakat.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kiai berperan penting untuk menjaga keutuhan NKRI dan memupuk nasionalisme pada santri untuk terus berkhidmat pada pancasila dan NKRI. Semangat ini tentu harus kita pahami dengan melihat bagaimana realitas sejarah posisi kiai dan santri yang ikut berjuang memerdekakan Indonesia.
Diantara figur kiai yang biasa kita ingat yakni KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, Pangeran Diponegoro, Kiai Amin, serta para ulama yang terbatas untuk ditulis pada konteks ini (akibat terlalu banyak) membuat kita paham bahwa kiai memiliki peran untuk menjaga keutuhan NKRI sampai hari ini.
Melalui pondok pesantren, benih-benih nasionalisme perlu ditanamkan kepada santri untuk terus berikrar terhadap NKRI. Maka menjadi hal yang naïf ketika ada kiai ataupun ulama yang berusaha keras untuk merubah NKRI dengan ideologi-ideologi yang dapat memecah NKRI. Wallahu a’lam