Keteladanan Imam Waki’

Jalanhijrah.com- Sosok masyhur dengan panggilan Imam Waki’ ini memiliki nama asli Abu Sufyan Waki’ bin al-Jarrah ar-Ruwassi al-Kufi. Ia adalah al-imam, hafiz dengan hafalan yang sangat kuat, sekaligus ahli hadis yang sangat terkenal dari negeri Irak.

Menurut Ahmad bin Hanbal, Waki’ bin al-Jarrah lahir pada 129 H (At-Târikh al-Kabîr, 8/179). Menurut Imam Adz-Dzahabi, Imam Waki’ telah aktif menimba ilmu sejak usia dini dan telah mulai mengajarkan ilmu hadis pada usia 30 tahun. Selama hampir 40 tahun Imam Waki’ menjadi tujuan para pencari ilmu dari berbagai penjuru negeri.

Tentang kekuatan hafalannya, Imam Ishaq bin Rahawaih berkata, “Hafalanku dan hafalan Ibn al-Mubarak berat dan betul-betul diupayakan. Adapun hafalan Waki’ adalah murni. Satu kali berdiri ia bisa menyampaikan 700 hadis hanya dengan mengandalkan hafalannya.” (Al-Jarh wa at-Tadîl, 1/221).

Imam Ahmad bin Hanbal pun mengakui, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada Waki’ dan tidak ada yang sebanding dengan dia dalam hal ibadahnya.” (Al-Jarh wa at-Tadîl, 1/219).

Imam Ahmad juga berkisah, “Aku tidak pernah melihat Waki’ membawa kitab (saat mengajar).” Karena itu, kata Yahya bin Ma’in, “Aku tidak melihat ulama yang lebih utama ketimbang Waki’ bin al-Jarrah.” (Al-Mustafâd min Dzayl Târîkh Baghdâd, 2/104).

Cara Imam Waki’ Menjaga Hafalan

Mengapa Imam Waki’ begitu kuat hafalannya? Salah satu rahasianya diungkap oleh pernyataannya sendiri. Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Imam Waki’ tentang obat apakah yang bisa memperkuat hafalan, ia menjawab, “Jika aku ajarkan kepada engkau, maukah engkau amalkan?”

Baca Juga  Erdogan Minta Putin Capai Perdamaian dengan Ukraina

Orang itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Kata Imam Waki’, “Tinggalkan maksiat! Tak ada obat yang mujarab semisal itu.” (“Mukadimah” tahqîq kitab Az-Zuhd karya Imam Waki, hlm. 13-69).

Imam Syafi’i juga pernah berkisah, “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjuki aku agar meninggalkan maksiat. Ia memberitahu aku bahwa ilmu adalah cahaya Allah. Cahaya-Nya tidak mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’ânah ath-Thâlibîn, 2/190).

Padahal Imam Syafi’i adalah orang yang juga kuat hafalannya. Imam Syafi’i pernah berkata, “Aku telah hafal Al-Qur’an saat umur 7 tahun. Aku pun telah hafal Kitab Al-Muwatha’ (karya Imam Malik) saat umur 10 tahun. Saat berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” (Tharh at-Tatsrîb, 1/95-96). Lalu mengapa hafalan Imam Syafi’i bisa terganggu? Saat itu Imam Syafi’i mengadu kepada gurunya, Imam Waki’, “Aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan cepat. Apa sebabnya?” Imam Waki’ berkata, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau renungkan!”

Imam Syafi’i pun merenung, apa kira-kira dosa yang telah ia perbuat? Ia pun teringat bahwa pernah suatu saat melihat tanpa sengaja betis seorang wanita yang tersingkap saat wanita itu sedang menaiki kendaraannya. Imam Syafi’i pun segera memalingkan wajahnya.

Kesungguhan Imam Waki’ dalam Beribadah

Imam Waki’ juga dikenal dengan kekhusyukan dan kesungguhannya dalam beribadah. Di antara perkara yang sangat ia perhatikan adalah salat. Ia berkata, “Siapa yang tidak mendapati takbir pertama (bersama imam dalam salat berjamaah di masjid, pen.), janganlah terlalu berharap tentang kebaikan dirinya.” (Al-Baihaqi, Syuab al-Imân, 3/74). Kata Ibrahim bin Syammas, Waki’ bin Jarrah juga pernah berkata, “Siapa saja yang tidak bersiap-siap (untuk salat berjemaah di masjid, pen.) saat waktu salat hampir tiba, ia berarti tidak memuliakan salat.”

Baca Juga  Di Balik Anarkisme: Habib Rizieq dan Sangsi Keadilan

Namun demikian, meski amat banyak melakukan ibadah, Imam Waki’ memandang bahwa mengajarkan hadis lebih utama daripada ibadah-ibadah sunah. “Andai salat (sunah) itu lebih utama daripada mengajarkan hadis, niscaya aku tidak akan pernah mengajarkan hadis.” Ia juga berkata, “Kalau bukan karena mengingat besarnya keutamaan selawat kepada Nabi saw., niscaya aku tidak akan mengajarkan hadis.”

Imam Waki’ pun sangat menjaga lisannya. Imam Ahmad berkata, “Ia tidak pernah membicarakan orang lain.” Imam Waki’ juga sosok yang tidak suka meminta-minta kepada manusia. Ia pun tidak suka dengan popularitas. Ia tidak senang orang lain mengetahui salat, puasa, atau ibadah yang ia lakukan.

Imam Waki’ bin Jarrah juga adalah sosok ulama yang amat zuhud. Tentang zuhud, ia berkata, “Jika seseorang meninggalkan urusan keduniawian tidak sampai taraf para Sahabat seperti Salman, Abu Dzarr, dll., maka aku tidak mengatakan bahwa ia adalah seorang yang zuhud. Bagiku di dunia ini ada yang halal, haram, dan syubhat. Yang halal akan dihisab, yang syubhat akan dicela. Oleh karena itu, posisikan dunia ini seperti bangkai. Ambillah dari dunia ini untuk sekadar membuatmu bertahan hidup.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ, 11/123, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, 11/144). Wallahualam.

Penulis

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *