Kalau Anda pengguna berat AI percakapan seperti ChatGPT, Gemini, Siri, atau CoPilot, apakah Anda menyadari ada kecenderungan berbalas kesopanan antara Anda dan AI?

Kita pernah ai-terlalu-sopan–bahaya-bias-keinginan-sosial-di-chatgpt”>membahas penelitian yang menunjukkan bahwa AI seperti ChatGPT memiliki social desirability bias—kecenderungan untuk menjawab dengan cara yang paling diterima secara sosial. Sopan.

Menariknya, pengguna AI pun tidak kalah sopan. Anda mungkin pernah mengetik prompt seperti: “Tolong susunlah …” atau “Maaf, maksud saya …” atau bahkan “Terima kasih, ya, sudah menjelaskan ….” Banyak pengguna secara refleks memperlakukan AI percakapan layaknya sesama manusia.

Padahal, secara rasional, kita tahu entitas ini cuma kumpulan kode komputer yang tak punya perasaan atau kesadaran. Lalu, kenapa kita secara alami memperlakukan AI seperti manusia lain?

Filsuf Emmanuel Levinas memperkenalkan konsep “Liyan” (the Other) sebagai entitas di luar diri kita yang memicu rasa tanggung jawab dan empati. Levinas percaya bahwa pertemuan dengan “Liyan” inilah yang membangun kesadaran moral manusia.

Dalam konteks percakapan sehari-hari dengan AI, konsep ini mendapat dimensi baru. Tanpa disadari, AI percakapan ini mengambil peran sebagai “Liyan” yang menantang kita secara moral: apakah kita cukup peduli untuk memperlakukannya dengan baik, meskipun tahu bahwa AI tak punya kesadaran?

Ketika memperlakukan AI dengan sopan, kita mungkin memproyeksikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesadaran palsu terhadap mesin. Kita menunjukkan identitas moral sebagai manusia melalui sikap terhadap sesuatu yang bahkan tidak bisa merasakan apa pun. Kalau terbiasa sopan terhadap chatbot, kebiasaan ini bisa menjadi latihan moral positif, melatih empati kita terhadap sesama manusia.

Baca Juga  Belajar dari Kesuksesan Kepemimpinan Umat bin Khattab

Sebaliknya, sikap kasar atau tidak peduli terhadap AI bisa tanpa sadar mengikis kepekaan moral kita di dunia nyata. Misalnya, seseorang terbiasa membentak atau memberi perintah kasar kepada Siri atau ChatGPT setiap hari.

Meski AI itu sendiri tidak terluka, kebiasaan buruk ini bisa menjadi pola interaksi yang terbawa ke dunia nyata. Orang tersebut mungkin secara refleks menjadi lebih mudah bersikap tidak sabar atau tidak sopan terhadap pelayan di restoran, rekan kerja, atau bahkan keluarga di rumahnya. Tanpa disadari, kebiasaan buruk ini perlahan mengikis empati dan rasa hormat terhadap manusia yang benar-benar punya perasaan.

Meski begitu, kita perlu menyadari bagaimana teknologi AI sebenarnya bekerja. AI percakapan seperti ChatGPT, Gemini, atau Siri adalah sistem berbasis pola statistik (Large Language Models/LLM) yang dilatih dengan data dalam jumlah besar. Sistem ini tidak memahami makna kalimat yang dihasilkannya. Ia tidak merasakan emosi, tidak punya kesadaran diri, dan tidak merasakan sakit atau senang. Dengan kata lain, interaksi yang terasa begitu manusiawi adalah ilusi yang dibangun oleh statistik, bukan oleh pengertian atau perasaan asli.

Dari perspektif filosofis, yang terpenting bukanlah apakah AI punya perasaan atau tidak, melainkan bagaimana interaksi kita dengan AI mencerminkan nilai-nilai moral kita. Kita bisa melihat interaksi dengan AI sebagai “latihan moral” yang terus-menerus menguji kesadaran etis kita.

Baca Juga  Gus Dur di Tengah Genderang Muktamar NU

Setelah menyadari ini, kita bisa mencoba pendekatan baru dalam interaksi sehari-hari dengan AI. Saat mengetikkan prompt ke ChatGPT, Siri, atau Gemini, kita bukan cuma mencari jawaban, tetapi sekaligus melatih empati dan karakter moral kita. Pilihan kata yang kita pakai—sopan atau kasar, ramah atau cuek—adalah bentuk latihan moral yang memengaruhi perilaku di dunia nyata.

Jadi, setiap kali berhadapan dengan AI, tanyakan pada diri sendiri: interaksi seperti apa yang ingin kita biasakan, sehingga karakter moral kita tumbuh lebih baik, bukan malah terkikis oleh teknologi?

 

 

Yayan Sopyan

Pegiat Budaya, Penggagas Applied Storytelling Learning Center.

Sumber: https://www.arina.id/perspektif/ar-BnSZD/kenapa-kita-bersikap-sopan-pada-ai-yang-tak-berperasaan-

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.