Jalanhijrah.com-Organisator khilafah dan penentang Pancasila, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), telah menjadi organisasi terlarang di Indonesia sejak tahun 2017. Akan tetapi, perlu dicatat, pembubarannya tidak sekaligus membumihanguskan ideologi Khilafah ala HTI. Buktinya, kampanye Khilafah ala HTI terus bergentayangan di jagat maya Indonesia.
Walau begitu, Khilafah ala HTI tak akan mampu menggantikan posisi Pancasila. Karena, Khilafah bukan ideologi yang berakar pada nilai-nilai budaya Indonesia melainkan, ia hidup dalam Kamus Hizbut Tahrir (baca: Taqiyuddin An-Nabhani, 1953). Dalam arti lain, Khilafah hanya ideologi utopis bagi bangsa Indonesia.
Pancasila Versi 1 Juni
Karena ideologi, Khilafah harus dihadapkan langsung dengan Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Terutama Pancasila versi 1 Juni. Mengapa Pancasila versi 1 Juni bukan 18 Agustus?
Menurut Syaiful Arif dalam Genealogi Kelahiran Pancasila (2021), Pancasila versi 1 Juni tidak berbeda dengan 18 Agustus. Hal itu karena, dalam 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus Sukarno menjadi figur sentral. Artinya, rumusan Pancasila resmi diputuskan oleh Sukarno sebagai Ketua PPKI, yang merupakan penyempurnaan ide Pancasila 1 Juni, bukan pada level substansial, akan tetapi sistematika nilai.
Di samping itu, pidato 1 Junilah yang ditetapkan oleh BPUPKI sebagai bahan baku perumusan dasar negara. Sebagaimana ditegaskan Panitia Lima (1977) yang diketuai Bung Hatta; setelah Sukarno berpidato pada 1 Juni, BPUPKI membentuk Panitia Kecil dengan tugas merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato 1 Juni Sukarno.
Dengan begitu, Pancasila versi 1 Juni adalah bukti lahirnya Pancasila dan ini merupakan fakta sejarah dan akademik yang harus kita akui.
Kegagalan Proyek Khilafah ala HTI
Ada lima alasan Pancasila menjadi Weltanschauung atau pandangan hidup bangsa ini. Sebagaimana kata Sukarno dalam Lahirnya Pancjtasila (1947) dan Pancjtasila Dasar Filsafat Negara; Kursus Bung Karno (1958). Melalui dua buku ini, kita akan mendapati apa yang kita cari dari substansi Pancasila. Pada gilirannya, di sinilah letak kegagalan proyek Khilafah ala HTI.
Menurut Sukarno, dasar pertama sebuah negara ialah memiliki prinsip kebangsaan. Sedang, syarat mutlak berdirinya negara terdiri dari rakyat, wilayah dan pengakuan dari negara lain. Indonesia sudah mendapatkan dua syarat, yaitu rakyat yang terdiri berbagai suku dan budaya serta berdiam di atas satu wilayah geopolitik dari Sabang sampai Merauke. Sedang, syarat terakhir diperoleh ketika Indonesia merdeka tahun 1945 dan secara tertulis dari Belanda pada tahun 1950.
Jadi, prinsip kebangsaan di atas terbatas pada tiga syarat yang termuat dalam teori negara modern. Prinsip ini berbanding terbalik dengan Khilafah ala HTI yang menghendaki pendirian sistem khilafah yang menegakkan hukum Allah dalam realitas kehidupan tanpa mengenal batas geografis dan teritorial.
Perlu diketahui, prinsip kebangsaan versi Sukarno ialah membangun hubungan baik tanpa merendahkan bangsa lain. Hal ini sebagaimana dikatakan Sukarno (1947), “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia”.
Dengan begitu, prinsip kebangsaan dan kemanusiaan ini merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling menguatkan. Kebangsaan tidak akan hidup subur apabila tidak mengakar dalam nasionalisme. Pun, kebangsaan tidak akan hidup subur jika tidak ditopang oleh semangat kemanusiaan. Inilah dasar negara pertama dan kedua sekaligus versi Sukarno. Prinsip kedua ini juga tidak ada dalam Khilafah ala HTI. Karena mereka tidak mengakui negara kafir. Artinya, selain negara versi Khilafah ala HTI adalah rendah kedudukannya.
Dasar negara berikutnya adalah mufakat, musyawarah, perwakilan. Dasar ini, dalam keyakinan Bung Karno, adalah “Syarat mutlak kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”. Melalui permusyawaratan dan/atau perwakilan inilah, semua golongan dapat melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat. Jadi, badan perwakilan inilah tempat untuk mengemukakan pendapat golongannya.
Prinsip ketiga ini juga tak ditemukan dalam kamus Khilafah ala HTI. Karena, menurut mereka, negara dipimpin seorang Khalifah yang dibaiat untuk didengar dan ditaati perintahnya atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara itu, pemilu dan badan perwakilan versi Indonesia dianggap thaghut oleh HTI.
Meski begitu, berdirinya lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan DPD misalnya, belum tentu mendatangkan kesejahteraan atau keadilan. Oleh karenanya, Sukarno mengusulkan agar Indonesia memiliki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus. Tujuannya, agar mendatangkan kesejahteraan atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial itu berbanding lurus dengan politik demokrasi dan ekonomi demokrasi yang dijalankan dengan prinsip persamaan hak. Sedang, Khilafah ala HTI ini selain tidak mengakui demokrasi juga membedakan adanya kelas agama. Misal, umat Islam lebih diprioritaskan dibandingkan umat agama lainnya dalam urusan negara.
Dari keempat dasar negara di atas harus berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Sukarno, “prinsip ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi hendaknya masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri”. Maksud perkataan Sukarno adalah, ekspresi keagamaan tetap dilakukan dengan cara yang berkeadaban. Artinya, saling menghormati satu sama lain. Sekali lagi, prinsip ini pun tak dimiliki oleh Khilafah ala HTI.
Akhirnya, sampaikan kapan pun dan siapa pun yang mengampanyekan Khilafah ala HTI itu tidak akan pernah menggantikan posisi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.