Jalanhijrah.com – Pada sebuah kesempatan, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih sering kita kenal dengan sapaan Gus Baha’ bercerita mengenai riwayat hidup KH Maimoen Zubair.

Dahulu, semasa awal berkiprah di masyarakat, KH Maimoen Zubair pernah mengikuti perjalanan ziarah Walisongo. Di tengah perjalanan, bus yang dinaiki oleh rombongan beliau tiba-tiba macet. Sebagai seseorang yang memiliki pengalaman tentu saja beliau khawatir apabila rem bus tidak berfungsi.

Hal ini berbanding terbalik dengan para jamaah ziarah yang lain. Para jamaah yang terdiri dari orang-orang awam itu justru merasa tenang-tenang saja. Ketika bus terhenti di tanjakan, para jamaah melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Mereka yang melahap kudapan tetap saja melahapnya seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka yang mengobrol pun tetap melanjutkan obrolannya.

Kiai Maimoen lantas bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian santai-santai saja? Bagaimana jika nanti busnya terguling?” Mereka menjawab: “Sudah dipikirkan supirnya, Mbah.”

Lambat laun, beliau bertanya apakah pernah terpikirkan dalam benak mereka besok akan menjadi penghuni surga atau neraka. Tanggapan orang-orang itu pun tak kalah mencengangkan: “Lho, soal seperti itu kan sudah Anda pikirkan? Bukankah jenengan kiainya?” KH Maimoen Zubair pun membatin, “kok enak juga ya jadi orang bodoh.

Terkait dengan kisah ini Gus Baha’ berkomentar bahwasanya ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh orang awam semisal hidupnya lebih tenang. Jika tidak punya uang tinggal mengajukan proposal bantuan. Apabila sakit, biayanya ditanggung oleh BPJS.

“Bayangkan, orang-orang bodoh se-Indonesia dipikirkan oleh pakar-pakar sekelas doktor. Mereka rapat dengan cukup serius untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sedangkan orang-orang yang dipikirkan santai saja. Minum kopi sambil merokok,” celetuk Gus Baha’ yang kemudian disambut oleh tawa para jamaah pengajian.

Oleh sebab itu kata Gus Baha’ Rasulullah pernah bersabda bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang-orang bodoh. Sebab, orang bodoh lebih mudah bersyukur. Mereka tidak memerlukan alasan-alasan rumit untuk bersyukur.

Selain menceritakan keirian KH Maimoen Zubair terhadap privilese yang dimiliki oleh orang-orang awam, kisah di atas juga memberitahukan kepada kita bahwa sudah selayaknya orang awam menyerahkan hal-hal yang tidak mereka kuasai kepada pakarnya.

Merujuk pada KBBI, pakar sendiri memiliki arti ahli atau spesialis. Sementara itu Tom Nichols dalam The Death of Expertise mendefinisikannya sebagai orang-orang yang menguasai keahlian atau seperangkat pengetahuan tertentu lalu mempraktikkannya sebagai pekerjaan utama mereka.

Keahlian mereka telah teruji dalam jangka waktu yang panjang sehingga mereka mampu menerapkannya dalam konteks yang rumit. Tak hanya sampai di situ, mereka juga terus meningkatkan keterampilannya, belajar dari kesalahan, dan memiliki rekam jejak yang jelas. Dalam arti yang lain, pengetahuan dan keahlian para pakar telah menubuh dan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Baca Juga  Bagaimana Narasi Perempuan Politik Dikisahkan dalam Sejarah Islam?

Di dalam The Death of Expertise Nichols menekankan bahwa status kepakaran seseorang tidak bisa didasarkan pada opini pribadi atau pengalaman kecil yang terbatas. Pakar hendaknya terdiri dari perpaduan pendidikan, bakat, pengalaman, dan yang tak kalah penting: pengakuan dari rekan sejawat.

Seorang pakar yang memperoleh pengakuan dari orang awam merupakan suatu kewajaran. Namun, ketika dia memperoleh pengakuan dari sesama ahli, di situlah letak kepakaran yang sebenarnya.

Lalu, apakah pakar tidak pernah salah? Pakar tentu saja mengalami kesalahan. Akan tetapi kemungkinan mereka berbuat salah lebih kecil dibandingkan dengan orang awam karena pakar mengerti berbagai risiko yang mungkin terjadi dalam profesi mereka.

“Kesalahan pakar mengenai hal tertentu tidaklah sama dengan kesalahan terus-menerus mengenai semua hal. Kenyataannya pakar lebih sering benar daripada salah, khususnya mengenai hal-hal penting,” tulis Tom Nichols.

Dewasa ini garis pembatas antara pakar dan awam terlihat semakin kabur. Di twitter saya pernah melihat pendapat seorang ahli hukum dikomentari seorang awam berbekalkan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Parahnya lagi, pendapat yang didasarkan pada penelitian bertahun-tahun itu dibantah dengan cuitan yang tak lebih dari 280 karakter. Padahal mengetahui suatu hal belum tentu memahaminya. Memahami tidak sama dengan mengalisis dan keahlian bukanlah permainan melontarkan spekulasi dan info-info receh.

Komentar-komentar awam semacam ini bukannya tanpa akibat. Nichols mengingatkan kita bahwa komentar orang awam tanpa ilmu berdampak buruk tidak hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi khalayak umum.

Setidaknya ada beberapa bahaya yang muncul ketika seorang awam memberikan komentar terhadap sesuatu yang berada di luar bidangnya. Beberapa di antaranya adalah:

  • Penyebaran informasi yang tidak akurat. Orang awam cenderung abai terhadap pengetahuan yang telah dikembangkan melalui proses yang sistematis dan teruji dalam bidang tertentu. Mereka meremehkan keahlian dan pengalaman para pakar sehingga menyebabkan penyebaran informasi menjadi tidak akurat.
  • Meningkatkan polarisasi dan ketegangan. Komentar dari orang awam yang kurang berpengetahuan dapat memperburuk polarisasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ketika seseorang dengan pengetahuan minim memperoleh akses mudah untuk menyuarakan pendapatnya, ini dapat memperkuat ketegangan antar kelompok.
  • Dampak negatif pada kebijakan publik. Ketika opini dan pendapat orang awam yang tidak berdasar mendominasi diskusi publik, kebijakan publik yang dihasilkan pun menjadi tidak efektif atau bahkan berbahaya. Keputusan yang didasarkan pada pengetahuan yang minim atau prasangka dapat memiliki konsekuensi serius bagi masyarakat.
  • Menurunnya kepercayaan pada otoritas kepakaran. Komentar orang awam yang tidak berdasar dapat merusak kepercayaan masyarakat pada otoritas kepakaran yang berada di bidang tersebut. Hal ini dapat menghasilkan ketidakpercayaan pada sumber-sumber pengetahuan yang mapan dan merugikan kemajuan ilmiah dan intelektual.
  • Menurunnya kualitas informasi dan pemahaman. Penyebaran komentar dari orang awam yang kurang berpengetahuan dapat menyebabkan penurunan kualitas informasi dan pemahaman secara keseluruhan. Diskusi publik dapat terjebak dalam pemikiran dangkal, sementara pemahaman yang mendalam tentang isu-isu kompleks jarang diperoleh.
Baca Juga  Bayat, Madiun, Malang dan Madura: Wilayah Para Pembangkang

Sebagian orang mungkin menuduh internet sebagai penyebab matinya kepakaran. Namun, menurut Tom Nichols internet hanya mempercepatnya. Di dalam bukunya ia menjelaskan bahwa matinya kepakaran disebabkan oleh banyak hal mulai dari produk khas budaya Amerika, sifat alamiah manusia itu sendiri, sampai akibat dari modernitas dan kemajuan ekonomi.

Di negara Amerika yang menjunjung tinggi kesetaraan, agaknya terdapat kesalahpahaman mengenai makna demokrasi. Warga Amerika saat ini memahami demokrasi bukan sebagai kesetaraan politik di mana satu orang memperoleh satu hak suara dan setiap individu sama di mata hukum. Mereka justru menganggap demokrasi sebagai keadaan serba setara di mana semua pendapat sama baiknya dengan yang lain.

Salah satu godaan terbesar masyarakat demokrasi adalah hasrat untuk menyetarakan setiap orang meskipun pada kenyataannya kecerdasan dan kemampuan mereka berbeda-beda.

Keengganan manusia untuk dianggap bodoh semakin memperburuk situasi ini. Nichols mengatakan, agar tidak dianggap bodoh kita berpura-pura lebih pandai daripada yang sebenarnya. Lambat laun kita mulai percaya bahwa kita memang sepandai itu. Tentu saja, masalah paling mendasar adalah kebanyakan orang tidaklah terlalu pandai.

Teori Dunning-Kruger Effect menjelaskan bahwa semakin Anda bodoh, semakin Anda merasa yakin bahwa Anda sebenarnya tidak bodoh.

Kesalahan tersebut sebenarnya bisa ditanggulangi apabila seseorang memiliki keahlian penting yang disebut metakognisi. Metakognisi adalah kemampuan seseorang untuk menyadari kesalahannya dengan cara mengambil jarak, kemudian melihat apa yang dia lakukan, lalu menyadari bahwa yang dia lakukan salah.

Di sisi lain manusia memiliki kecenderungan alami untuk menerima bukti-bukti yang hanya mendukung sesuatu yang sudah mereka percayai. Seseorang yang sebelumnya mempercayai bahwa bumi itu datar hanya akan percaya pada teori-teori yang mendukung kepercayaannya itu.

Pendidikan seharusnya dapat membantu kita memecahkan masalah di atas namun, universitas modern saat ini menganggap mahasiswanya sebagai komoditas belaka. Perguruan tinggi kini dipasarkan selayaknya paket liburan selama beberapa tahun, bukan sebagai kontrak dengan institusi dan dosen untuk perjalanan pendidikan.

Begitu pula dengan para orang tua yang justru sibuk mempertimbangkan fasilitas universitas daripada mempertanyakan apa yang sebenarnya diajarkan di sana. Akibatnya lembaga pendidikan saat ini mengalami inflasi gelar.

Di tengah ancaman matinya otoritas kepakaran seperti ini, saya bersyukur masih ada beberapa intelektual yang terus menjaga keyakinan kita bahwa otoritas kepakaran belum mati. Di bidang agama misalkan, kita memiliki figur seperti Gus Baha’.

Bagi saya Gus Baha’ adalah contoh bagaimana seorang pakar bersikap. Kepiawaiannya dalam menjelaskan teks-teks keagamaan berbanding lurus dengan kehati-hatiannya dalam berkomentar—terlebih jika itu sesuatu yang berada di luar bidangnya.

Baca Juga  Sentimen Agama Bukan Persoalan Bitung

Saya masih ingat ketika beliau mengutarakan pendapatnya mengenai almarhum Gus Dur. Gus Baha’ menyampaikan pendapat sesuai dengan kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Bukan ahli politik, sejarah, maupun ahli yang lain. Begitu pula ketika hendak mendalami sesuatu. Beliau berpesan kepada kita agar mempelajarinya secara sistematis dan menyeluruh. Mulai awal hingga akhir. Katanya, kepakaran seseorang tidak akan tercapai apabila konstruksi keilmuannya tidak utuh.

Menurut Gus Baha’ kekacauan pemahaman agama terjadi karena orang-orang tidak tuntas dalam menuntut ilmu. Ditambah lagi para pakar agama yang tidak menunjukkan dirinya di hadapan masyarakat dengan alasan tawadhu’ sehingga masyarakat kebingungan mencari rujukan.

Mengutip dari kitab Syajaratul Ma’arif, Gus Baha’ menjelaskan bahwa terkadang orang harus menuturkan kelebihan dirinya di hadapan orang lain. Tujuannya bukan karena sombong tetapi untuk memaklumatkan kepada orang-orang agar mereka memperoleh ilmu pengetahuan dari sumber yang kredibel.

Kata Gus Baha’: “Daripada tidak memaklumatkan kemudian ada orang yang tidak pernah mengaji tiba-tiba memaklumatkan diri seakan-akan dia adalah orang yang paling tahu mengenai Islam. Bahkan sampai menjadi rujukan orang-orang awam.”

Pada kesempatan yang lain Gus Baha’ mengingatkan kita agar mendasarkan segala sesuatu pada ilmu. Beliau mengambil contoh perdebatan klasik mengenai persoalan qunut. Kita tahu Imam Syafi’i adalah ulama yang menganjurkan membaca qunut sementara Imam Abu Hanifah mengambil sikap sebaliknya.

Saat ini, beberapa orang justru beranggapan bahwa mereka yang menjalankan qunut mengikuti madzhab NU sementara yang tidak menjalankan mengikuti madzhab Muhammadiyah. Padahal, perdebatan mengenai qunut sudah ada jauh sebelum kedua organisasi tersebut lahir.

“Dahulu tidak ada masalah sebab semuanya dianalisa dengan ilmu. Tapi sekarang pakai identitas. Yang qunut NU, yang tidak qunut Muhammadiyah. Seakan-akan Imam Abu Hanifah itu orang Muhammadiyah sedangkan Imam Syafi’i itu orang NU.” Demikian yang disampaikan oleh Gus Baha’.

Pada akhirnya, perdebatan seperti ini akan terulang kembali apabila orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan terus mengomentari sesuatu yang bukan bidangnya.

Dunia sedang berubah. Perkembangan teknologi tidak sejalan dengan kebijaksanaan penggunanya. Banjir informasi mengancam kejernihan pikiran karena hasrat kita untuk berkomentar lebih banyak daripada pengetahuan yang kita miliki. Saya pikir tidak ada cara yang lebih baik untuk mengatasinya kecuali mengakui keterbatasan pengetahuan kita dan menyerahkan hal-hal yang tidak kita kuasai kepada pakarnya.

Sebagaimana kata Tom Nichols: “Ketidaktahuan tidak akan menjadi masalah selama kita hidup dalam masyarakat yang memiliki pembagian kerja. Pilot menerbangkan pesawat, dokter memberikan resep obat, pengacara mengajukan tuntutan hukum. Kita bukan Leonardo Da Vinci yang melukis Monalisa pada pagi hari dan merancang helikopter pada malam hari.”

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *