Jalanhijrah.com-Kepergiannya ditangisi banyak orang. Orang-orang selalu merindukan kehadirannya. Laku hidupnya banyak menjadi inspirasi dan teladan masyarakat. Itulah Kiai Ghazali sapaan akrab KH. Ghazali Ahmadi. Sosok yang amat santun dan sederhana, namun tetap bersahaja. Kealimannya di bidang ilmu agama sudah masyhur di kalangan masyarakat. Terbukti, dalem (rumah) Kiai Ghazali nyaris tak pernah sepi dari tamu. Saban waktu selalu berdatangan. Mulai dari masyarakat elite hingga masyarakat akar rumput, tentu untuk meminta nasehat atau wejangan-wejangan.
Di lingkungan masyarakat Kangean, Sumenep, Kiai Ghazali tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama, kiai, dan pengasuh Pondok Pesantren Zainul Huda. Tetapi juga salah satu tokoh pejuang emansipasi perempuan, terutama di Desa Arjasa Laok dan Duko Laok tempat Kiai Ghazali tinggal. Kontribusinya begitu besar dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan di desanya.
Meski sebagai tokoh yang memperjuangkan nasib perempuan, namun Kiai Ghazali tidak menelurkan karya secara khusus membincang perempuan. Ia hanya menuliskan karya di bidang fiqh. Salah satunya adalah kitab Sabilul Jannah. Suatu kitab yang berisi seputar ibadah, dan ditulis berbahasa Madura dengan huruf Arab Pegon. Tujuannya untuk mempermudah bagi para pemula yang hendak belajar ilmu agama; masalah ibadah.
Walau tidak memiliki karya di bidang perempuan, tetapi gagasan atau pemikiran Kiai Ghazali menjadi mercusuar bagi para tokoh-tokoh masyarakat, ulama, dan terutama perempuan-perempuan setelahnya di pulau Kangean, Sumenep Madura, khususnya di Desa Arjasa Laok dan Duko Laok.
Emansipasi Perempuan Ala Kiai Ghazali
Pada masa Kiai Ghazali nasib kaum perempuan tidak seperti sekarang, di mana mereka telah banyak memainkan peran yang cukup strategis di ruang publik –baik di kancah nasional maupun internasional. Sebaliknya, kondisi perempuan kala itu sangat memprihatinkan. Eksistensinya hanya akan diakui ketika tenaganya dibutuhkan. Ini berarti, mereka laiknya barang atau materi yang berfungsi apabila dibutuhkan. Jangankan menyandang pendidikan hingga ke perguruan tinggi, lulus Sekolah Dasar (SD) pun sudah beruntung.
Ironi ini juga ditopang dengan paradigma berpikir masyarakat; bahwa sehebat dan setinggi apapun status serta pendidikan perempuan pada akhirnya akan tetap menjadi ibu rumah tangga. Yang aktivitas kesehariannya adalah di dapur (memasak), sumur (menyuci), kasur (melaksanakan kewajiban suami-istri), dan mengurusi anak. Paradigma demikian, telah mengakar kuat di tengah masyarakat kala itu bak kitab suci yang ketetapannya tak boleh diubah apalagi dikritik.
Di tengah kondisi memilukan inilah, Kiai Ghazali hadir dengan membawa hawa segar bukan hanya bagi kaum perempuan, melainkan seluruh masyarakat Kangean, khususnya Arjasa Laok dan Duko Laok. Bahkan, Kiai Ghazali berupaya mendobrak pola pikir patriarkal masyarakat yang seringkali menganggap bahwa perempuan adalah makhluk lemah, tidak layak berkiprah di ruang publik, apalagi memiliki peran cukup strategis dalam kehidupan sosial.
Menarik, gagasan emansipasi yang Kiai Ghazali tawarkan juga bersumber dari teks-teks kitab suci umat Islam. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa parameter kemuliaan seseorang bukan dari status sosial, keturunan, dan jenis kelaminnya, melainkan adalah tingkat ketakwaan mereka kepada Allah. Hal ini sebagaimana dalam surat Al-Hujurat;
يَاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap manusia memiliki kedudukan, status, harkat, dan martabat yang sama di hadapan Allah. Bahkan, melalui ayat ini pula Allah melarang untuk merendahkan orang lain, melakukan diskriminasi, dan memasung hak-hak setiap individu walaupun mereka berbeda dalam hal jenis kelamin, suku, budaya, bahasa, pemikiran, dan lain-lain.
Adalah wajar jika Kiai Ghazali memperjuangkan nasib perempuan di desanya tatkala hak-hak mereka dipasung. Upaya yang Kiai Ghazali lakukan melalui dunia pendidikan. Pendidikan, demikian Kiai Ghazali merupakan satu-satunya instrumen untuk membebaskan kaum perempuan dari praktik budaya patriarki yang menyiksa dan mengikat mereka. Dengan memperoleh pendidikan, seorang perempuan dapat mempertinggi perannya. Bukan hanya di ranah domestik, melainkan mencakup segala aspek tak terkecuali di bidang kemasyarakatan.
Karena itulah, kemudian Kiai Ghazali membuka “pengajian qira’at” dan “kursus ibadah” yang khusus kalangan perempuan-perempuan di desanya. Mereka menyambut pengajian dan kursus ini secara euforia. Hal ini bisa terlihat dari antusiasme masyarakat dalam mengikutinya. Dan jamaahnya pun berasal dari pelbagai kalangan. Mulai orang dewasa, para janda, dan ibu-ibu lansia.
Di pengajian dan kursus ini Kiai Ghazali secara langsung mendidik mereka. Materinya seputar ihwal dasar-dasar ilmu agama, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Quran, ilmu Tajwid, syair-syair kehidupan, dan lain-lain. Materinya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sebab para jamaahnya kebanyakan berasal dari pelosok pedesaan. Sehingga, pemahaman akan ilmu agama menjadi urgen dikuasai dan dipahami.
Tak hanya membuka “pengajian qira’at” dan “kursus ibadah” untuk para ibu-ibu, Kiai Ghazali juga menyekolahkan anak-anak perempuan di desanya. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga ke perguruan tinggi. Saking semangatnya, saban waktu Kiai Ghazali mengantarkan mereka secara langsung ke sekolah dengan berjalan kaki. Maklum, pada masa Kiai Ghazali alat transportasi tak seperti sekarang (menggunakan mobil dan sepeda motor). Kebanyakan adalah menggunakan kuda dan dokar. Tetapi ia memilih berjalan kaki. Sungguh, perjuangan yang sangat luar biasa dan mungkin jarang orang melakukannya saat ini.
Alhasil, berkat perjuangan Kiai Ghazali banyak perempuan-perempuan di desanya yang sudah berkiprah di ruang publik, memiliki pendidikan yang tinggi hingga lulusan sarjana dan pascasarjana, bahkan sampai kiwari. Demikianlah, sepak terjang KH. Ghazali Ahmadi dalam memperjuangkan nasib perempuan-perempuan di desanya dari kubangan budaya patriarkal masyarakat. Wallahu A’lam