Ekologi Spiritual, Pemuliaan terhadap Alam, dan Musik Dangdut Hari Ini

Jalanhijrah.com- “Ati-ati ya, Le.. aja sembrana, ngko sing mbahurekso ngamuk! (hati-hati ya nak.. jangan sembrono.. nanti sosok yang mbahurekso ngamuk!)

Begitu kira-kira ucapan seorang tetua di kampung seorang kawan. Ucapan semirip ini bisa dirungu dari lisan para tetua di berbagai kampung. Mereka tidak alpa untuk mengingatkan anak-cucu agar tidak sembarangan dalam tindakan. Peringatan tentang adanya sosok sing mbahurekso yang dikatakan akan mengamuk bila terjadi kesembronoan itu tidak lebih merupakan pasemon atau metafora. Ia berfungsi sebagai wewaler atau pengingat perihal keharusan untuk awas dan hati-hati.

Mbahurekso berasal dari kata mbah dan wreksaMbah artinya tetua, sesepuh. Wreksa artinya menjaga. Kata ini lantas dilisankan menjadi satu: mba(h)urekso. Siapakah sosok yang dimaksud sebagai sesepuh penjaga atau sang mbahurekso itu? Umumnya orang-orang modern hari ini memahaminya sebagai demit, jin, setan, atau penunggu tempat angker. Dalam khazanah tasawuf Jawa, sosok tersebut pada awalnya tidak mengacu pada pengertian poliklenik seperti dipahami hari ini. Sang mbahurekso adalah sosok wali pemula, pembabat alas, atau pemula-buka perkampungan.

Apakah tokoh itu pasti seorang wali? Kemungkinan besar iya. Kualifikasi untuk menjadi seorang pemula-buka peradaban pada masa lalu adalah kewalian.  Bila hari ini tetua atau lurah sebuah kampung harus berkualifikasi sarjana, pada zaman ratusan tahun sebelum hari ini setidaknya seorang tetua telah diangkat sebagai wali. Bukan wali dalam pengertian jabatan politik, melainkan wali dalam pengertian tasawuf, yaitu orang yang telah mengkhatamkan kurikulum bersuluk.

Mereka datang atau dikirim oleh guru-guru mereka yang juga merupakan para wali. Mereka diperintahkan untuk membuka kampung, berdiam, dan beranak-pinak hingga wafat di sana. Doa-doa sang wali pembuka kampung itulah yang terus-menerus ”bekerja” dari masa ke masa dalam menjaga keutuhan kampung. Dapat dipahami bahwa setiap kampung kemungkinan besar ada walinya. Lalu bersambung terus hingga santri-santri mereka di kampung itu dan atau menyebar membuka kampung di tempat lain. Hari ini, seiring arus sekularisasi peradaban dunia, keberadaan para wali tetua kampung ini diganti oleh sosok-sosok pemenang persaingan politik. Tilas-tilas para wali pembuka peradaban ini lamat-lamat menghilang. Dari situ dapat dipahami mengapa makam-makam para tetua kampung sering tidak terawat dan bahkan banyak yang terbengkalai.

Bagaimana mengetahui siapa sosok sang mbahurekso di kampung-kampung itu di zaman ini? Jejak-jejak mereka sebenarnya dapat ditelusuri. Satu di antaranya adalah dengan membaca pohon-pohon tua di kampung itu, terutama yang tumbuh di pesarean (pekuburan). Pohon tertentu mengacu pada makna tertentu. Lalu makna-makna itu mengacu pada identitas keruhanian sang mbahurekso. Tanggap dan paham kepada fakta-fakta naturalistik atau dengan kata lain kesadaran tentang alam serta upaya untuk terus menjaganya adalah jalan masuk untuk membaca sejarah dan peradaban. Masa depan umat manusia ditentukan di sini.

Watak Alam, Karakter Kemanusiaan

Pola pemuliaan terhadap alam seperti ini lazim membudaya di berbagai wilayah dengan jejak kewalian yang tertilas lama. Pohon, mata air, bebatuan, sumur, sawah-ladang, diposisikan sebagai sedulur atau saudara. Mereka bukan benda mati sebagaimana diajarkan oleh sekolah, melainkan sesuatu yang hidup. Dalam berbagai kasus, mereka adalah ”hutan semiotika” yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ingatan, pengetahuan, kearifan, dan sejenisnya. Dari sanalah, biasanya setiap pohon-pohon tua di berbagai kampung di Jawa khususnya selalu disebut sebagai tempat tinggal sing mbahurekso. Dalam peradaban rongsok hari ini, siapa yang masih menyunggi perkara ini?

Baca Juga  Mengenal Syekh Burhanuddin Ulakan Tokoh Sufi Berpengaruh di Minangkabau

Selain pohon, benda-benda alamiah lain juga kerap dipakai oleh masyarakat di nusantara untuk mengungkapkan pikiran-pikiran atau konsep-konsep penting yang operasional di dalam kehidupan. Misalnya konsep Satria Piningit yang diyakini akan muncul di saat dunia sedang menghadapi kehancuran. Sosok Satria Piningit diyakini sebagai pemilik ”wahyu” yang kelak akan membawanya menjadi orang yang dipanuti seluruh isi alam semesta. Wahyu di sini bermakna ilham, bukan wahyu dalam pemaknaan kenabian. Kekuasaan atau kepemimpinan yang tidak dilandasi wahyu hanya akan mengundang sambutan kasar seluruh alam.

Wahyu tidak serta merta hadir di dalam diri sosok sang Satria Piningit. Wahyu akan mendatanginya jika ia telah mengkhatamkan laku Hasthabrata atau ilmu delapan watak kepemimpinan. Jika sang Satria Piningit tidak mengamalkan ajaran ini, maka itu artinya tidak ada wahyu yang “jatuh” ke dalam dirinya. Sebaik apapun ia, sebanyak apapun suara rakyat yang mendukungnya, ia bukan Satria Piningit. Adapun delapan watak itu diambilkan dari kenyataan alam.

Pertama, hambeging kisma atau berwatak bumi, yaitu kaya hati, suka berderma, dan tidak pernah menggugat takdir. Kedua, hambeging tirta atau berwatak air, yaitu kepribadian yang mengalir, tenang, meyakinkan, memberikan kesejukan bagi semua. Ketiga, hambeging samirana atau berwatak angin, yaitu karakter supel, lincah, fleksibel, mengerti persoalan kompleks dari segala perspektif, tidak berpikiran sempit, dan terbuka pada segala kemungkinan. Keempat, hambeging samudra atau berwatak lautan, yaitu sifat luas hati, siap menerima segala keluhan, dan tidak tebang-pilih.

Kelima, hambeging candra atau berwatak rembulan, yaitu lihai mengarahkan rakyat untuk selalu mengingat Tuhan dan memberikan penerangan di dalam kegelapan. Keenam, hambeging surya atau berwatak matahari, yaitu mental untuk memberi daya, energi, dan kepastian. Ketujuh, hambeging dahana atau berwatak api, yaitu sikap untuk menyelesaikan masalah secara tuntas, tidak pernah menindas, memerintah dengan paksa, mendikte apalagi merasa paling benar sendiri. Kedelapan, hambeging kartika atau berwatak bintang, yaitu cita-cita tinggi, menjadi panutan bagi siapa pun, kokoh, dan teguh pendirian.

Cara menandai apakah seorang pemimpin itu Satria Piningit yang memegang teguh prinsip hasthabrata ini mudah sekali. Jika ia terpilih, diyakini langit dan bumi pun akan tenang. Negara yang berada di bawah kepemimpinannya akan aman dari marabahaya, musibah, bencana alam, keributan sosial, maupun kesulitan ekonomi. Karena ia adalah wadah wahyu Tuhan. Sehingga ia mampu mencipta suatu sistem kehidupan multidimensi yang adil. Dengan demikian, karakter kemanusiaan paripurna ditentukan oleh sejauh mana manusia meneladani watak alam raya.

Khazanah tasawuf di pesantren sejak jauh hari telah menukil kisah-kisah ”restu” alam raya pada kehadiran sosok pembawa kebaikan. Dalam Kitab Maulid Diba’, salah satu kitab klasik berisi riwayat nabi yang sering dibaca oleh masyarakat Muslim di Asia Tenggara, ekologi spiritual tampak dalam riwayat bahwa unta datang meminta keselamatan, biawak dan kijang datang bersaksi atas kebenarannya, dan pohon-pohon, serigala, dan rembulan juga menyambutnya. Lagi pula, Nabi Muhammad Saw dilahirkan dalam keadaan dengan tanda-tanda alam yang khas.

Alam, Antroposentrisme, dan Kalimat Suci

Sebagaimana telah dicatat dalam sejarah, kelahiran Nabi Muhammad disebut dengan Tahun Gajah. Asal ceritanya waktu itu gubernur Yaman, Abrahah, masuk ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Ia dan pasukannya menunggangi gajah. Gajah milik Abrahah adalah yang terbesar di antara semua gajah. Namun, usahanya tersebut langsung digagalkan oleh ‘tangan’ Tuhan berbentuk kiriman burung-burung Ababil yang menghujani mereka dengan batu-batu.

Baca Juga  Kampanye Politik Identitas Berbasis Islam

Tampak bahwa gajah-gajah tersebut berada dalam permainan manusia. Abrahah dan pasukan penunggang gajah itu mengeksploitasi gajah untuk memenuhi hasrat dan keinginannya. Pandangan dunia (worldview) Abrahah ini merupakan ciri khas antroposentrisme dalam memandang alam. Bahwa manusia adalah tuan dunia. Karena itu manusia berhak untuk menguasai alam dan segala isinya untuk dimanfaatkan dalam mengejar keinginannya. Antroposentrisme dalam memandang alam ini jelas keliru. Status alam dan manusia adalah sesama makhluk yang hidup di dunia sebagai penyembah Tuhan.

Untuk menegaskan visi ini, al-Quran berulang-ulang membahas kebaikan dalam metafora-metafora berbasis unsur lingkungan. Islam menggambarkan keyakinan kuat pada Tuhan (tauhid) sebagai pohon terbaik (syajarat thayyibah) yang akarnya menghunjam ke dalam tanah dan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa (QS: 14: 24). Di lain ayat lagi, untuk menggambarkan puncak kenikmatan bagi orang-orang yang berbuat baik, al-Quran memberikan imbalan surga yang digambarkan sebagai kebun-kebun sarat tumbuhan subur, buah-buahan segar, dan sungai-sungai.

Bahkan, untuk menandakan visi spiritual lingkungan ini, Tuhan “tidak segan-segan” bersumpah dengan kalimat berciri unsur-unsur alam seperti; buah tin, buah zaitun. Anehnya, tidak sekalipun al-Quran melansir sumpah Tuhan yang memakai kata: manusia. Padahal, berulang-ulang pula al-Quran menjelaskan berbagai fenomena alam sebagai bentuk tasbih yang tidak diketahui oleh manusia (QS: 17: 44). Uniknya, dalam al-Quran diceritakan bahwasan pada awalnya Tuhan menawarkan tongkat pengelolaan keamanan (amanah) kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, akan tetapi semua benda-benda alamiah itu enggan menerima amanat tersebut. Lalu manusia tampil sebagai pengembannya (QS: 33: 72).

Di ayat lain diceritakan bahwa perbuatan baik berupa penggelontoran harta di jalan kebaikan yang bila dilakukan akan berlipat ganda pahalanya. Untuk mengungkapkan hal itu, Tuhan mengumpamakannya dengan metafora benih terbaik yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji (QS: 2: 261). Mengapa untuk mengatakan bahwa perbuatan baik itu akan dilipat-gandakan pahala dan keberkahannya Tuhan harus menggunakan metafora berbasis budaya tetumbuhan? Bukankah lebih baik langsung dilontarkan saja tanpa tedeng aling-aling? Tentu alasan ini hanya Tuhan yang tahu.

Bila dilacak di dalam budaya esoterisme atau peradaban spiritual masyarakat dunia, kebaikan, kearifan, dan piwarah-piwuruk memang kerap diwicarakan dengan meminjam metafora ekologi berupa tetumbuhan (flora) dan hewan (fauna). Candi-candi di Jawa mulai dari abad ke-8 hingga ke-15 dapat dipatok sebagai bukti kuat. Dinding-dinding candi, misalnya Candi Ijo di Sleman, penuh ragam hias tetumbuhan baik dari jenis kekembangan maupun pepohonan. Sedangkan di bagian kaki candi ada tangga yang memiliki makara dengan dua lengkung lidah berukir gajah, naga, dan burung. Kenyataan serupa dapat ditemukan di berbagai candi lain.

 

AlamTuhan, dan Meggi Z

Visi ekologi spiritual ini tentu mendesak untuk digaungkan lebih keras. Telah banyak tanda-tanda kerusakan alam akibat ulah manusia. Alam lalu berupaya untuk mengajak manusia berbicara melalui tsunami, gempa bumi, letusan gunung, badai, asap, dan banyak lagi tanda-tanda lain. Penunaian misi para nabi dan rasul yang dikirimkan oleh Tuhan, di dalam sejarah, pasti akan disertai dengan penguatan keterlibatan ekologi terutama dalam bentuk azab bagi para pendusta risalah kenabian.

Baca Juga  KPU: Kampanye yang Benar Menurut UU Pemilu adalah Kampanye Edukatif

Kaum Nuh dihajar dengan banjir, kaum Yunus diperingatkan dengan angin topan, kaum Hud dipermalukan dengan hujan batu dan pembenaman seluruh negeri ke dalam tanah, Firaun dan bala tentaranya ditenggelamkan oleh laut yang terbelah, Ismail dikuatkan dengan air sumur zamzam, Sulaiman dengan kemampuan mengorganisasi binatang, tumbuhan, dan elemen-elemen alamiah lainnya.

Peristiwa alamiah di dalam sejarah itu tentu telah berulang-ulang terjadi. Setiap kali alam berbicara, ia langsung mengingatkan manusia pada Tuhan. Alam dan Tuhan memang sejak mula-kala terhubungkan dalam kedekatan. Pantas saja bila di dalam satu ayat Surat Pembuka (al-Fatihah), kata alam dalam bentuk plural (jama’) diletakkan setelah kata rabb (Tuhan). Alhamdulillahi rabbil ’alamin. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Di sini, kata ’alam menyertai kata rabb. Ada kedekat-eratan antara keduanya.

Dalam budaya musik popular di Indonesia, telah terdendangkan berlaksa lagu berisi lirik-lirik cinta hingga bencana bermetafora tetumbuhan dan kenyataan alam pada umumnya. Dari khazanah musik rock ada Rumah Kita (Godbless, 1988) dan Timur Tragedi (Power Metal, 1993). Dari khazanah dangdut ada Gulali (Rhoma Irama, 1995), Kata Pujangga (Rhoma Irama, 1973, Bunga Padi (Santa Hocky, 1992), Jatuh Bangun (Meggi Z, 2000), dan masih banyak lagi. Semua lagu itu, terutama yang berbicara tentang cinta, selalu melibatkan pewacanaan alam raya. Misalnya Setangkai Bunga Padi, yang liriknya mengisyaratkan persemian cinta di kala pesta panen raya para petani. Tampak di sini cinta terhubung dengan epistemologi agraria.

Setangkai bunga padi

Kau selipkan di rambutku

Aku tak sanggup memandang

Tatapan bola matamu

Di pesta panen ini kita bertemu kembali

Seakan telah tertulis cintaku dengan cintamu

Pada 2000, Meggi Z tampil seolah melengkapi visi agraris Setangkai Bunga Padi dengan menekankan visi maritim dalam lagu Jatuh Bangun. Lirik lagu dangdut yang kemudian dibawakan kembali oleh Kristina ini benar-benar menggambarkan alam pikiran atau epistemologi maritim. Cinta dibicarakan dan diungkapkan dengan melibatkan laut, bulan, air garam, dan dunia pelayaran di Indonesia.

Jatuh bangun aku mengejarmu

Namun dirimu tak mau mengerti

Kubawakan segenggam cinta

Namun kau meminta diriku

Membawakan bulan ke pangkuanmu

 

Jatuh bangun aku mencintai

Namun dirimu tak mau mengerti

Kubawakan segelas air

Namun kau meminta lautan

Tak sanggup diriku sungguh tak sanggup

 

Sudah tahu luka

Di dalam dadaku

Sengaja kau siram

Dengan air garam

 

Kejamnya sikapmu

Membakar hatiku

Sehingga cintaku

Berubah Haluan

 

Percuma saja berlayar

Kalau kau takut gelombang

Percuma saja bercinta

Kalu kau takut sengsara

 

Bagaimana kabar lagu cinta hari ini? Entahlah. Jika dicermati, agaknya sebagian besar berunsur kesakitan egoistik antroposentris. Cinta dan patah hati dieksploitasi dan terus-menerus direproduksi dengan memusatkan perhatian pada diri sendiri. Alam tidak dilibatkan. Ayu Tingting pernah memecahkan kebuntuan visi ekologis dalam dangdut lewat Sambalado (2017). Hanya saja, masyarakat Indonesia cuma bisa maklum bahwa perjalanan cinta sang penyanyi memang pedas. Wallahu a’lam.

Penulis

Yasser Arafat

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *