Kontroversi Pondok Pesantren Al-Zaytun Indramayu masih menjadi tranding topik hari ini. Terakhir, tim Kick Andy mewawancarai terkait beberapa hal, mulai dari kasus salat id di sana yang safnya ada perempuan di saf terdepan, bermazhab Soekarno, bolehnya berzina asal ditebus, menyebut Indonesia Tanah Suci sama seperti tanah Haram Makkah, mengakui dirinya komunis, aliran dana filantropi, berafiliasi dengan NII, hingga pernyataan Panji Gumilang yang meragukan Al-Qur’an sebagai kalam Allah dan menyebut kalam Nabi Muhammad saw. Dari Kontroversi Al-Zaytun Kontroversi kasus Al-Zaytun ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Misalnya pada 2012, ramai-ramai orang mendakwah Al-Zaytun sebagai pondok yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, pondok yang didirikan pada 27 Agustus 1999 di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ini, dibilang mengajarkan pemahaman yang menyimpang. Atas kasus tersebut, MUI melakukan investigasi dan merekomendasikan pemerintah untuk melakukan penindakan karena Al-Zaytun sudah terindikasi menyimpang. Namun faktanya, pemerintah hingga hari ini belum melakukan tindakan pada pondok yang merupakan amal usaha Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) dengan posisi pimpinan pondok dipegang Panji Gumilang, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini. Karena Al-Zaytun tidak juga dilakukan tahapan tindakan dan bahkan malah ternyata banyak pejabat negara yang berkunjung ke ponpes, banyak dari masyarakat yang bertanya-tanya. Apa dan siapa sesungguhnya di balik kemegahan dan “kesaktian” Al-Zaytun ini? Pembandingan dan Branding Kasus Orang-orang kemudian membandingkan dengan sikap pemerintah yang dengan cepat membubarkan HTI, FPI dan Gafatar, tetapi dalam kasus Al-Zaytun terlihat bertele-tele. Sikap pemerintah yang seolah mendiamkan Al-Zaytun ini dianggap bentuk ptaktik toleransi dari program moderasi beragama Kemenag. Jadi, seakan-akan pemerintah telah tersandera ide toleransi yang mereka adopsi dalam program moderasi beragama. Apakah demikian? Tidak. Moderasi ada empat indikator penting di dalamnya. Di antaranya toleransi, anti-kekerasan, komitmen kebangsaan, serta pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multikultural dan multiagama. Pada persoalan agama sendiri, toleransi menjadi penentu dalam perjalanan agama-agama ini. Misalnya, apakah dengan meyakini kebenaran eksklusif pada agamanya merupakan jalan kepada kedalaman spiritual? Jika perbedaan suatu pemeluk agama berada pada masyarakat majemuk bisakah dia menerima? Dalam penafsiran yang sempit, kemungkinan muncul alasan yang bahwa dunia (Islam) akan menjadi lebih baik jika tanpa keberadaan agama lain. Jika demikian yang terjadi, ini menjadi semacam ketidaksinkronan teologi dan norma sosial agama yang menancap di tubuh sebagian pemeluk agama, yang sekonyong-konyongnya mencintai kedamaian di Indonesia. Kembali Ke Tafsir Moderasi Tetapi jika penganut agama berada pada suatu komunitas yang memeluk ajaran agama yang sama, ini tidak menjadi masalah. Bagi banyak orang, perbedaan agama dan keyakinan serta memeluknya adalah hak yang harus dipenuhi dan dihormati. Dalam konteks ini, jika penganut agama lain datang bertandang ke tempat Islam tidaklah masalah. Yang menjadi menjadi masalah bilamana mereka berada di luar komunitas yang kemudian menyalahkan penganut yang lian. Ini adalah ukuran sederhana dari moderasi beragama. Kalau mau lebih dalam lagi, kita bisa merujuk pada teks Al-Quran. Bagi Al-Qur’an, keragaman adalah menjadi sunnatullah. Sudut pandang diri (self) dan lain (the other) harus dijadikan satu kaitan yang saling melihat dunianya. Maksudnya, melihat diri juga harus melihat kaitan orang lain dan melihat yang lain juga melihat dalam sinaran keberadaan dirinya. Tanpa melihat dua sisi itu, Islam kadang dijadikan sebagai pakaian luar untuk menyelimuti ambisi-ambisi jahat yang sengaja disembunyikan. Ini berbahaya, karena umat Islam sebagian belum terdidik secara baik, maka mereka sering dipermainkan oleh politisi atau seseorang yang tidak bertanggung jawab. Dengan itu, kita harus bisa menegosiasikan ulang langkah kita melihat semua apa yang bias diambil dari dasar keberagaman-kemanusiaan di atas agama dan kebijakan.

Jalanhijrah.com-Kontroversi Pondok Pesantren Al-Zaytun Indramayu masih menjadi tranding topik hari ini. Terakhir, tim Kick Andy mewawancarai terkait beberapa hal, mulai dari kasus salat id di sana yang safnya ada perempuan di saf terdepan, bermazhab Soekarno, bolehnya berzina asal ditebus, menyebut Indonesia Tanah Suci sama seperti tanah Haram Makkah, mengakui dirinya komunis, aliran dana filantropi, berafiliasi dengan NII, hingga pernyataan Panji Gumilang yang meragukan Al-Qur’an sebagai kalam Allah dan menyebut kalam Nabi Muhammad saw.

Dari Kontroversi Al-Zaytun

Kontroversi kasus Al-Zaytun ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Misalnya pada 2012, ramai-ramai orang mendakwah Al-Zaytun sebagai pondok yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, pondok yang didirikan pada 27 Agustus 1999 di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ini, dibilang mengajarkan pemahaman yang menyimpang.

Atas kasus tersebut, MUI melakukan investigasi dan merekomendasikan pemerintah untuk melakukan penindakan karena Al-Zaytun sudah terindikasi menyimpang. Namun faktanya, pemerintah hingga hari ini belum melakukan tindakan pada pondok yang merupakan amal usaha Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) dengan posisi pimpinan pondok dipegang Panji Gumilang, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.

Karena Al-Zaytun tidak juga dilakukan tahapan tindakan dan bahkan malah ternyata banyak pejabat negara yang berkunjung ke ponpes, banyak dari masyarakat yang bertanya-tanya. Apa dan siapa sesungguhnya di balik kemegahan dan “kesaktian” Al-Zaytun ini?

Baca Juga  Guru PAI Menangkal Radikalisme di Lingkup Pendidikan, Wajib!

Pembandingan dan Branding Kasus

Orang-orang kemudian membandingkan dengan sikap pemerintah yang dengan cepat membubarkan HTI, FPI dan Gafatar, tetapi dalam kasus Al-Zaytun terlihat bertele-tele. Sikap pemerintah yang seolah mendiamkan Al-Zaytun ini dianggap bentuk ptaktik toleransi dari program moderasi beragama Kemenag. Jadi, seakan-akan pemerintah telah tersandera ide toleransi yang mereka adopsi dalam program moderasi beragama.

Apakah demikian? Tidak. Moderasi ada empat indikator penting di dalamnya. Di antaranya toleransi, anti-kekerasan, komitmen kebangsaan, serta pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multikultural dan multiagama.

Pada persoalan agama sendiri, toleransi menjadi penentu dalam perjalanan agama-agama ini. Misalnya, apakah dengan meyakini kebenaran eksklusif pada agamanya merupakan jalan kepada kedalaman spiritual? Jika perbedaan suatu pemeluk agama berada pada masyarakat majemuk bisakah dia menerima?

Dalam penafsiran yang sempit, kemungkinan muncul alasan yang bahwa dunia (Islam) akan menjadi lebih baik jika tanpa keberadaan agama lain. Jika demikian yang terjadi, ini menjadi semacam ketidaksinkronan teologi dan norma sosial agama yang menancap di tubuh sebagian pemeluk agama, yang sekonyong-konyongnya mencintai kedamaian di Indonesia.

Kembali Ke Tafsir Moderasi

Tetapi jika penganut agama berada pada suatu komunitas yang memeluk ajaran agama yang sama, ini tidak menjadi masalah.

Bagi banyak orang, perbedaan agama dan keyakinan serta memeluknya adalah hak yang harus dipenuhi dan dihormati. Dalam konteks ini, jika penganut agama lain datang bertandang ke tempat Islam tidaklah masalah. Yang menjadi menjadi masalah bilamana mereka berada di luar komunitas yang kemudian menyalahkan penganut yang lian. Ini adalah ukuran sederhana dari moderasi beragama.

Baca Juga  Imam Hasan al-Bashri, Mahligai dari Tanah Basrah

Kalau mau lebih dalam lagi, kita bisa merujuk pada teks Al-Quran. Bagi Al-Qur’an, keragaman adalah menjadi sunnatullah. Sudut pandang diri (self) dan lain (the other) harus dijadikan satu kaitan yang saling melihat dunianya. Maksudnya, melihat diri juga harus melihat kaitan orang lain dan melihat yang lain juga melihat dalam sinaran keberadaan dirinya.

Tanpa melihat dua sisi itu, Islam kadang dijadikan sebagai pakaian luar untuk menyelimuti ambisi-ambisi jahat yang sengaja disembunyikan. Ini berbahaya, karena umat Islam sebagian belum terdidik secara baik, maka mereka sering dipermainkan oleh politisi atau seseorang yang tidak bertanggung jawab. Dengan itu, kita harus bisa menegosiasikan ulang langkah kita melihat semua apa yang bias diambil dari dasar keberagaman-kemanusiaan di atas agama dan kebijakan.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *