Jalanhijrah.com- Salah seorang pemuda, murid Dzun Nun al-Mashri, mengembara sembari menyeru, “Âh, aina qalbi (di mana hatiku)? Siapa yang menemukan hatiku?”
Suatu hari, dia memasuki sebuah gang lebar. Tiba-tiba dia melihat seorang anak sedang menangis, sementara sang ibu memukulinya.
Lalu sang Ibu mengeluarkannya dari rumah dan menutup pintu tanpa membiarkan dirinya masuk.
Anak itu menengok kanan-kiri, tak tahu hendak pergi kemana dan menuju kemana. Ia pun kembali ke pintu rumah itu. Sembari menangis, dia berkata:
Ya Ummâh! Siapa lagi yang akan membukakan pintu, jika engkau telah menutup pintu ini dariku?
Siapa lagi yang akan mendekatiku, jika engkau telah menjauhiku?
Siapa lagi yang akan mendekatiku, jika engkau marah padaku?
Karena sang ibu menyayanginya, dia memperhatikan anaknya dari celah pintu. Ia melihat air mata anaknya mengalir membasahi kedua pipinya, sembari bersimpuh di tanah.
Akhirnya, pintu itu pun dibuka dan sang ibu menggendong si anak lalu membawa ke kamarnya dan menciumnya.
Sang ibu pun berkata, “Duhai permata hatiku! Duhai kekasih hatiku! Engkau yang membebaniku di luar batas kemampuan. Engkau pula yang menghalangi apa yang terjadi padamu. Andainya kamu mematuhiku, aku tak kan marah.”
Tiba-tiba perasaan pemuda itu membuncah. Kemudian dia berdiri lalu berteriak, “Telah kutemukan hatiku, telah kutemukan hatiku.”
Penulis: Nur Hasim
Baca selengkapnya di sanadmedia