Namanya Nu’man bin Tsabit bin Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, ulama peletak dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik

Jalanhijrah.com- “Siapa lagi yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.” (Khalifah Al-Manshur)

Namanya Nu’man bin Tsabit bin Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, ulama peletak dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik. Ia pernah hidup di dua masa kekhalifahan Islam, yaitu Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Ia hidup di masa sebelum berakhirnya khilafah Bani Umayah dan awal kekuasaan Bani Abasiyah. Ia hidup di suatu masa di mana para khalifah dan gubernur memuliakan para ilmuwan dan ulama sehingga rezeki datang dari segala arah, tanpa mereka sadari.

Salah satu gurunya ialah Syekh Hammad bin Abu Sulayman, ulama fikih kenamaan asal Kufah. Kepadanya, Abu Hanifah belajar ilmu selama 18 tahun.

Imam Abu Hanifah dikenal dengan kecerdasannya. Suatu ketika ia menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian siapa dia?” Mereka menjawab, “Tidak.”

Ia berkata, “Ialah Nu’man bin Tsabit. Seandainya ia berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya dipakai orang sebagai argumen.” Tidak berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah. Ini karena, ia memang memiliki kekuatan dalam berargumen, daya tangkap yang cepat, cerdas, dan wawasannya tajam.

Buku sejarah banyak menggambarkan kekuatan argumennya dalam menghadapi lawan bicaranya. Juga ketika ia menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran komentar Imam Malik, “Seandainya ia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya. Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?”

Baca Juga  Dalil Doa dan Amalan Mengusap Mata Saat Adzan

Sebagai bukti dari pernyataan Imam Malik di atas, ada seorang laki-laki dari Kufah yang disesatkan oleh Allah. Ia termasuk orang terpandang dan didengar ucapannya. Laki-laki itu menuduh di depan orang-orang bahwa Utsman bin Affan adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah berislam.

Ketika mendengar berita itu, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku.”

Ia berkata, “Selamat atas kedatanganmu. Orang seperti engkau tidak layak ditolak keperluannya, wahai Abu Hanifah. Namun, siapakah peminang itu?” Ia menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Al-Qur’an, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah.”

Laki-laki itu berkata, “Wah. . .wah, cukup Abu Hanifah! Sebagian dari yang engkau sebutkan sudah cukup untuk meminang seorang putri Amirulmukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu  engkau pertimbangkan.”

Ia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Ia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya, “Yahudi? Apakah engkau ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi? Demi Allah, aku tak akan menikahkan putriku dengannya walaupun ia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”

Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak pernikahan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan keras, tetapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”

Baca Juga  Mengembalikan Marwah Islam sebagai Agama yang Damai adalah Tugas Umat Islam

Seketika itu gemetarlah tubuh orang tersebut, lalu berkata, “Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucapkan. Aku tobat dari tuduhan busuk yang aku lontarkan.”

Abu Hanifah pernah berjumpa dengan orang-orang ateis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq. Ia pun berkata kepada mereka,” Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal memuat penuh barang. Lalu kapal itu mengarungi samudera yang gelombangnya kecil dan anginnya tenang. Namun, setelah kapal sampai di tengah-tengah, tiba-tiba terjadi badai besar.

Anehnya, kapal itu terus berlayar dengan tenang, sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa guncangan dan berbelok arah. Padahal tidak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan kapal. Masuk akalkah cerita ini?”

Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khalayak sekalipun, wahai Syekh.” Abu Hanifah pun berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, tetapi kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang dan benda-benda langit, burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya, dan mengaturnya dengan cermat? Celakalah kalian! Lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?” Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan agama Allah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan padanya. Melawan kebatilan dengan hujah yang cerdas dan meyakinkan. Lisannya penuh hikmah. Tutur katanya menghujam siapapun yang mendengarnya.

Baca Juga  Faktor dan Penguatan Pencegahan Radikalisme di Indonesia

Penulis

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *