Jalanhijrah.com-Indonesia kembali geger ketika terjadi terorisme yang melibatkan wanita milenial di Makassar beberapa waktu yang lalu. Aksi tersebut diduga sebagai radikalisme yang masih sangat kental di beberapa golongan yang belum bisa melakukan sikap toleransi. Aksi tersebut menyudutkan salah satu golongan ataupun agama sehingga akan berdampak memecah belah persatuan dari Indonesia.
Radikalisme itu sendiri adalah sebuah kelompok atau gerakan dengan tujuan mencapai kemerdekaan dengan pandangan ekstrem dan keinginan untuk perubahan social yang cepat. Radikalisme sangat erat dengan ektremisme dan terorisme. Terorisme itu berasal dari sikap radikal yang menganggap selain kelompoknya adalah salah. Radikalisme dan terorisme merupakan ancaman yang benar-benar nyata bagi bangsa Indonesia.
Pelaku terorisme di Makassar adalah sepasang suami istri anggota dari JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang melakukan ini dengan motif amaliyah jelang Ramadhan yang termaksuk dari jihad. Tapi cara jihadnya yang salah. Meledakkan bom di depan Gereja Katedral Makassar. Peristiwa tersebut terjadi ketika banyak orang berlalu lalang. Dua orang sebagai pelaku tewas dan 20 orang lainnya luka-luka.
Peristiwa ini bukan hanya sekali 2 kali terjadi, tapi sudah menjadi isu yang serius. Apalagi dilibatkannya wanita atau istri dalam tindak terorisme sebagai bentuk patuh terhadap suami yang malah mencelakai dirinya sendiri. Perempuan di pedesaan yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah lebih rentan terpengaruh radikalisme. Anak-anak gadis apabila suaminya kombatan meninggal di peperangan, nanti dinikahi lagi oleh kombatan lain, dan mau tidak mau harus diterima.
Keterlibatan wanita dalam radikalisme ini yang dulunya hanya sebatas berperan sebagai pengelola data melalui jaringan internet, pengumpul dana atau pendorong jihad sang suami yang notabane nya “Teroris” kini juga ikut dalam aksi pengeboman. Hal ini menjadi suatu kegelisahan baru untuk seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Perlu adanya paham radikalisme, toleransi serta arti jihad yang sesungguhnya kepada seluruh masyarakat terutama kaum wanita milenial yang hidup di zaman modern yang mengalami penyebaran informasi yang begitu cepat, bila lengah kita akan mengkonsumsi seluruh informasi yang benar ataupun hoaks, tanpa filtrasi informasi yang benar.
Radikalisme ini sendiri merupakan posisi ekstrem, karena fanatisme agama dari pengikutnya, dan secara mudahnya melabelkan kafir kepada orang yang tidak sepaham dengan agama sesuai yang dianutnya. Korban dari golongan radikal ini adalah orang yang tidak benar-benar memahami agamanya, secara gampang mempercayai tentang jihad yang dipelajarinya melalui media sosial ISIS.
Wanita harus paham mengani jihad, terutama wanita milenial yang kini banyak belajar melalui media sosial. Harus ada guru yang bisa memfilter ilmu yang didapatnya. Secara etimologis, jihad berarti aktivitas yang dilakukan manusia secara sadar yang melibatkan 2 pihak dimana keduanya berusaha saling mengalahkan. arti jihad berkembang menjadi sesuatu yang mengharuskan untuk memerangi musuh Islam dan orang-orang kafir menurut golongan radikal.
Radikalisme menanamkan konsep jihad besar, yaitu dengan turun langsung ke medan perang dan itu merupakan tugas laki-laki. Sementara perempuan menjadi pendorong dan penguat bagi para laki-lakinya. Peran lainnya dari seorang perempuan adalah menjadi seorang yang menyiapkan jundi yang akan menjadi jundullah, tentara Allah. Secara keseluruhan, peran perempuan dalam aksi terorisme yang dipropagandakan oleh radikalisme bukanlah menjadi pelaku sentral.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap dua pelaku aksi penyerangan Mako Brimob yang dilakukan oleh Tempo. Siska dan Dita mempelajari ISIS melalui internet dengan mendengarkan ceramah-ceramah pimpinan JAD Aman Abdurrahman. Siska sangat setuju dengan propaganda ISIS, menurutnya ISIS senantiasa memperjuangkan berdirinya Daulah Islam yang sesuai dengan perintah Rasul. Sementara, demokrasi yang diterapkan di Indonesia menurutnya adalah lingkar setan.
Paham yang seperti inilah yang kemudian sangat membahayakan. Apalagi di era digital seperti sekarang sangat mudah untuk siapa saja mengakses segala bentuk pembelajaran yang bersumber dari paham radikal dan ajakan-ajakan untuk berjihad melalui aksi teror dengan embel-embel ganjaran surga. Aksi terorisme dengan kekerasan ini malah mengatasnamakan jihad agama islam, padahal islam tidak pernah mengajarkan melakukan kekerasan kepada sesama manusia.
Perlu adanya edukasi yang signifikan di lingkungan serta kelompok-kelompok tertentu, pembatasan informasi yang mengandung unsur hoax, agar masyarakat milenial di era digital tidak mudah mengakses informasi yang salah. mereka juga dibekali keterampilan tentang cara-cara mendeteksi bila ada gerakan-gerakan berbau radikalisme dan terorisme di masyarakat.
Para kaum perempuan diajak untuk tidak gagap teknologi. Pasalnya, saat ini dunia komunikasi melalui internet menjadi sasaran penyebaran radikalisme dan terorisme. Karena itu kaum perempuan tidak anti menggunakan media sosial. Dengan demikian peran orang tua akan berpengaruh terhadap pengawasan penggunaan medsos anak.