Terorisasi Anak-anak: Ketika Deradikalisasi dan Moderasi Menjadi Sangat Urgen

Jalanhijrah.com – Densus 88 Antiteror berencana melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak yang diduga terpapar radikalisme dari kelompok teroris Negara Islam Indonesia (NII). Kabag Operasi Densus 88 Antiteror, Kombes Aswin Siregar menegaskan, deradikalisasi tersebut perlu dilakukan karena anak-anak begitu mudah didoktrin untuk menjadi teroris. Untuk mengatasi terorisasi anak-anak tersebut, Densus 88 kemudian menggandeng Kemensos dan ormas Islam.

“Kami bekerja sama dengan Kementerian Sosial atau ormas Islam dalam rangka moderasi beragama,” kata Aswin.

Kebijakan Densus 88, untuk diketahui, didasarkan pada temuan fakta mengejutkan terkait penangkapan 16 teroris di Sumatera Barat pada Jumat (25/3) kemarin. Kelompok teroris NII itu mengaku merekrut anggota baru yang masih anak-anak di wilayah Sumbar secara masif. Menindaklanjuti pengakuan tersebut, aparat menjadikan deradikalisasi dan moderasi beragama sebagai sesuatu yang urgen. KPAI pun berkomentar mengenai kasus ini.

“Kami berharap kasus ini didalami dan dikembangkan agar anak-anak yang diduga dilibatkan dalam aktivitas jaringan terorisme segera bisa teridentifikasi. Karena jika ada anak korban tidak teridentifikasi upaya penanganan lanjutan tidak dapat terlaksana dengan baik. Anak-anak harus kita selamatkan,” ujar Ketua KPAI Susanto kepada wartawan, Senin (28/3), seperti dilansir Detik.

Sebenarnya, rekrutmen anak-anak ke dalam kelompok teroris bukan fenomena baru. Taliban di Afghanistan, Al-Qaeda dan ISIS juga pernah melibatkan anak-anak sebagai kader lanjutan mereka. NII di Indonesia, yang selama ini dianggap tiarap, hanya menggunakan cara yang sama dengan kelompok teroris global. Ini menyuguhkan masyarakat Muslim satu fakta baru: terorisme adalah proyek jangka panjang, sehingga kaderisasi sejak dini meras perlu para teroris lakukan.

Baca Juga  Solidaritas Kemanusiaan untuk Kanjuruhan, dari Gusdurian hingga AC Milan

Adalah menarik bahwa Densus 88 mengatakan akan berkoordinasi dengan Kemensos dan ormas Islam. Sebab, selama ini, pemberantasan terorisme juga menggunakan cara seperti itu. Jadi, apa bedanya? Menurut saya, ada dua hal yang unik dari langkah Densus 88. Pertama, mempertegas peran moderasi dalam mengatasi terorisme secara face to face, karena selama ini koridor moderasi dianggap belum jelas. Kedua, menciptakan arah baru deradikalisasi.

Terorisasi NII

Berdasar keterangan aparat, NII terkuak ingin mengubah ideologi negara dan hendak memberontak ketika negara dalam keadaan lengah. Apakah kita harus percaya? Saya rasa itu ada benarnya. Dalam sejarah, satu-satunya kelompok teror yang pernah melakukan pemberontakan adalah NII. Artinya, meskipun selama ini kabarnya tenggelam oleh kelompok teror seperti JI, JAD, dan MIT, NII tidak bisa disepelekan. Mereka bukan kelompok teroris kemarin sore.

Hal yang harus dipegang dari NII adalah keteguhan dan kesolidannya. Bahwa meski kelompok teror bermunculan, permainan mereka tetap cerdik dan tidak gegabah. Para teroris NII menyadari, di tengah kemasifan pemerintah menangulangi radikalisme-terorisme, melakukan aksi teror adalah bunuh diri berjemaah. Buktinya, JI dan JAD hari ini diburu hingga ke akarnya. Andai saja mereka tidak beraksi, mungkin gerilya mereka tidak akan terlacak pemerintah.

Karenanya, NII memilih lakukan terorisasi sebelum aksi teror. Prinsip mereka, lebih baik mengumpulkan kader sebanyak-banyaknya dulu, daripada buru-buru beramaliah tapi sporadis dan malah akan dikejar aparat. Strategi cerdas semacam ini menginisiasi mereka untuk melakukan rekrutmen pada anak-anak. Yang terpenting hari ini mereka dilatih, kelak pada waktunya mereka akan siap memberontak. Latihan perang (i’dad) anak-anak, dengan demikian, adalah investasi terorisme masa depan.

Baca Juga  Shalat itu Tiang Agama, Hukuman Berat Bagi yang Meninggalkannya.

Lalu apa yang harus negara lakukan?

Pemerintah melalui Densus 88, sebagaimana saya kutip di atas, menegaskan akan melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak yang teridentifikasi masuk NII. Jika kebijakan tersebut benar-benar terealisasi, maka aparat sudah bertindak sebagaimana seharusnya. Tidak ada yang lebih urgen dalam masalah terorisasi selain deterorisasi, dan deterorisasi di sini mencakup dua agenda besar yaitu deradikalisasi dan pemasyarakatan moderasi.

Masalahnya, selama ini deradikalisasi diproyeksikan sebagai langkah menyembuhkan eks-teroris, sehingga para eks-napiter menjadi sasarannya. Sementara untuk menanggulangi terorisasi, programnya ialah kontra-radikalisasi. Yang terakhir ini dikhususkan untuk pencegahan bibit, sementara deradikalisasi digunakan untuk menyembuhkan mereka yang sudah pernah mencucupi dunia terorisme dan ingin insaf. Inilah alasan mengapa saya mengatakan, deradikalisasi punya orientasi baru.

Arah Baru Deradikalisasi

Moderasi beragama yang dicanangkan Kemenag, juga ormas NU melalui Islam Nusantara dan Muhammadiyah melalui Islam berkemajuan, sebenarnya ditujukan untuk memberantas radikalisme keagamaan. Di sisi yang lain, deradikalisasi merupakan ijtihad untuk menginsafkan para radikalis, dengan mengajarkan padanya prinsip-prinsip moderasi. Jadi keduanya sebenarnya tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dari mata uang. Ini harus dipahami.

Namun, di ranah kebijakan, keduanya jadi punya ranah masing-masing. Deradikalisasi lebih dekat sebagai soft-approach aparat, terutama ketika Densus 88 mencanangkan pendekatan humanis dalam menanggulangi terorisme. Arah baru yang saya maksud tentang deradikalisasi hanya dalam hal sasaran, sehingga anak-anak juga bisa dilakukan deradikalisasi, tidak lagi eksklusif untuk mantan napiter.

Baca Juga  Khotbah Rasulullah Ketika Memasuki Bulan Rajab

Karenanya, ada beberapa poin, menurut saya, yang mesti menjadi catatan bersama dalam masalah ini. Pertama, NII bukan satu-satunya aktor. Sebagai kelompok teror, JI dan JAD misalnya juga sudah gencar melakukan terorisasi. Namun mereka, terlepas dari sudah banyaknya yang diringkus aparat, punya agenda yang lebih besar daripada JI. NII tidak melakukan bom bunuh diri, atau bom gereja. Jadi kalau NII disorot, aparat tidak boleh mengabaikan kelompok teror lainnya.

Kedua, deterorisasi memerlukan kinerja dari sekadar aparat. Kemensos dan ormas Islam adalah langkah yang tepat, namun Densus 88 tidak boleh berhenti di tataran penyembuhan, melainkan pencegahan. Ketiga, moderasi beragama tidak boleh elitis. Ini karena selam ini moderasi kentara sebagai proyek Kemenag. Ini harus direvisi. Keempat, deradikalisasi membutuhkan tokoh panutan utama. Kelima, deradikalisasi tidak bisa diidentikkan sebagai politik rezim.

Densus 88 menegaskan penanggulangan NII dan kelompok teror lain seluruh di Indonesia. Terorisasi anak-anak menjadi masalah utama yang ingin mereka selesaikan. Artinya, deradikalisasi yang memiliki arah baru tersebut dan moderasi bersifat urgen. Harapan besarnya, semoga tidak hanya berhenti di teori. Semua orang berharap, deradikalisasi dan moderasi beragama efektif menanggulangi terorisme secara holistis. Dari anak hingga dewasa, dan dari NII ke kelompok teror lainnya. Wallahu A’lam bi ash-Shawab..

*Penulis: Ahmad Khoiri Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *