Jalanhijrah.com-Pembahasan reuni 212 kiranya menjadi topik hangat dalam menutup akhir tahun di Bulan Desember. Hal ini karena banyak polemik yang mengintai pada kegiatan tersebut. Dari awal kehadirannya sejak aksi dilakukan pada 2016 silam, ia menjadi kelompok yang terus membuat heboh publik dengan label agama.
Aksi bela Islam yang dilakukan lantaran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), membuat heboh publik. Pasca kejadian itu, Ahok dilengserkan dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama. Aksi ini kalau kita lihat lebih jauh, semacam sebuah penampakan bahwa umat ajaran Islam dikenal dengan ajaran marah-marah, tidak ramah terhadap non Islam, bahkan kasus yang tidak seharusnya diusut, menjadi sebuah kasus mau yang berujung pada aksi-aksi mengerikan selanjutnya.
Dengan massa yang sedemikian banyak, aksi tersebut menciptakan ketertarikan tersendiri bagi umat Islam, khususnya kelompok muslim urban menengah yang terus haus akan spiritualitas, serta pemahaman agama. Setelah sukses melakukan aksi 212, kini para kelompok pembawa nama Islam itu kembali untuk melakukan reuni 212. Kehadirannya juga tidak kalah heboh, bahkan dalam kondisi pandemi, ia menerobos maut dan menciptakan bahaya pada masyarakat luas.
Memberontak pemerintah yang sah
Polemik yang terjadi dalam pelaksanaan reuni 212 yang digelar pada 2 Desember ini selalu mendapatkan masalah baru. Berdasarkan penolakan atas surat pihak panitia Reuni Akbar 212 dengan No. 007/RA.212/SP/XI/2021 tanggal 29 November 2021, reuni 212 akhirnya belum menemukan titik terang yang pasti. Meskipun demikian, rencana-rencana yang sudah disusun oleh panitia tidak kalah ganasnya dengan para penentang reuni ini.
Tidak hanya itu, bahkan polisi mengancam untuk mempidanakan para panitia serta orang-orang yang terlibat pada acara tersebut penyelenggara hingga peserta yang nekat melangsungkan kegiatan Reuni 212 di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat (Kompas.com). Penegasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sebenarnya adalah sikap antisipatif kepada masyarakat agar tidak terjun dalam aksi yang sama, serta tidak tergiur untuk terjun langsung, mengingat kondisi pandemi yang belum selesai.
Keterangan tersebut bisa kita lihat atas aksi yang akan dilakukan, apakah benar akan mengikuti pihak kepolisian, atau sebaliknya?
Tasawwuf dalam menghadapi Covid-19
Jika reuni 212 membawa jubah “Islam” dalam kegiatan yang dilakukan. maka perlu kita tegaskan bahwa reuni 212 sangat tidak Islami. Hal ini karena, pada masa pandemi dengan kekahawatiran yang masih cukup tinggi, serta potensi penyebaran covid-19 yang terus bergentayangan, kegiatan reuni 212 menimbulkan kemudharatan yang cukup besar.
Acara semacam ini tentu, bisa diadakan secara virtual. Akan tetapi, lagi-lagi yang perlu kita garis bawahi bahwa, mereka bukan orang sembarangan untuk mengadakan reuni virtual. Sebab semuanya memiliki kepentingan! Aksi offline yang dilakukan tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik yang dibungkus agama.
Padahal dalam kondisi Covid-19, jika mengacu pada ajaran Islam, penerapan tasawwuf dalam mengahadapi Covid-19 tentu menjadi salah satu alternatif utama yang harus dilakukan sebagai umat Islam.
Dalam menyikapi kondisi pandemi Covid-19, tasawuf menawarkan alternatif melalui doktrinnya yang disebut uzlah dan khalwat sebagai gerakan spiritual Islam dalam memutus penyebaran Covid-19. Disamping itu, doktrin tersebut tidak melanggar atau bertentangan dengan apa yang diperintahkan pemerintah dan tidak menyalahi aturan dari pakar kesehatan. Dengan demikian, ajaran tasawuf bukan hanya ilmu yang bersifat vertikal dan individual yakni hanya mementingkan hubungan individu dengan Tuhan. (Syamsul Bakri:2020)
Tasawwuf dalam menghadapi Covid-19 bagi umat Islam merupakan alternatif yang cukup signifikan. Apalagi menjunjung tinggi keselamatan orang banyak. Dalam konteks reuni 212, sisi kebermanfaatannya tidak lebih besar dengan sisi kemudharatannya. Padahal, reuni 212 yang dikatakan untuk menegakkan keadilan tersebut, sangat bisa dilakukan secara virtual seperti yang sudah saya singgung di atas, atau hanya dengan beberapa kegiatan yang dilakukan pada setiap daerah, tanpa melakukan kegiatan sentral di Jakarta seperti rencana yang sudah diajukan.
Lagi-lagi, reuni 212 ini adalaha gerakan politik, mobilisasi umat Islam di tengah bahayanya pandemi yang terus mengintai, sebagai umat Islam seharusnya kita bisa membaca gerakan ini. Bahwa seyogyanya kegiatan tersebut hanyalah bagian dari taktik gerakan politik yang berjubah Islam. Wallahu a’lam