Jalanhijrah.com – Saya percaya, sebagian penulis belia akan berbusa-busa mengutip Pramoedya. Ia menyembah sepatah kata Pram “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Sebelumnya ia tak paham mengenai hal-hal yang akan membuat mental kecut di medan tulisan. Setelah masuk dan berjalan di dunia menulis, barangkali ia mulai mempertanyakan itu: benarkah penulis abadi, atau katakanlah, karya-karyanya dikenang?
Ia akan berpikir puluhan kali untuk menjawab. Saya hanya ingin berkata bahwa tidak seperti itu. Apa yang ada di medan tidak semenyenangkan yang ada di pikiran. Tidak sesempurna apa yang ada dalam ide, kata Plato. Meski ide Plato bukan apa yang ada di kepala—paling tidak ia yang ada di atas realitas.
Inilah kira-kira isi kepala para penulis pemula: buku-bukunya laku keras bahkan mengkudeta buku Tere Liye di rak depan toko buku besar di sebuah kota. Kemudian ia akan diundang menjadi pembicara di banyak panggung seminar dan orang-orang akan meminta tanda tangannya, sambil lalu berswafoto. Dengan begitu, uang akan mengucur deras ke dompet eletronik miliknya.
Atau, kalau ia menulis di media massa, akan membayangkan tulisannya terbit setiap minggu—bahkan seminggu bisa berkali-kali. Ia akan memikirnya banyak honor yang didapat, yang kalau dipikir-pikir sesungguhnya, hanya cukup untuk makan tiga hari. Kalau kebetulan medianya tidak menyediakan honor, sesungguhnya ia akan menggigit jari sambil mengunggah pemuatan karyanya di dunia maya.
Sampai di situ, saya kira tidak ada hal banyak yang dapat diharapkan dari menulis. Penulis-penulis pemula yang bermimpi bukunya laku keras, saya kira harus mulai menyurutkan niat. Saya katakan, susah untuk sampai di situ atau minimal harus benar-benar berdarah. Anda akan menimpali balik dengan mengatakan: menulis bukan untuk uang, menulis adalah kerja intelektual. Saya paham dan tidak ada masalah dengan itu.
Saya hanya berusaha menjabarkan bagi orang yang “hendak” terjun, bahwa dalam dunia kepenulisan seringkali tidak semenyenangkan apa yang dulu kita pikirkan. Jangakan buku-buku laku keras, draf tulisan diterima penerbit yang mau membayar saja sudah untung. Dengan kata lain, kalau hendak memperkaya diri, menjadi penulis adalah kesalahan yang—meski tak fatal—cukup besar.
Lalu dari mana keabadian hendak dimulai? Tidak ada jalan untuk itu, aksesnya tertutup jika penulis pemula sudah kalah di medan pertama: medan popularitas. Hanya dalam menulis, keseriusan tidak dipandang begitu agung. Seorang aktris dan pemeran dalam My Lecturer, My Husband menjadikan penulis hanya sampingan, tetapi bukunya barangkali lebih laku keras dari pemula yang juga lantang mengutip sepatah kata Pram di awal.
Personal branding juga menentukan di sini, sementara kualitas hanya urusan kesekian. Saya tidak mengatakan tulisan aktris itu buruk, sama sekali tidak, sebab saya enggan membacanya. Saya lebih menekankan bahwa ketenaran pengarang akan mempengaruhi nasib tulisan.
Dan keabadian, hanya bisa kita temukan di puisi-puisi Sapardi, itu juga bagian dukanya. Sampai di sini menjadi jelas, bahwa rasa iba saya terhadap penulis pemula sangat besar. Ketakutan pertama yang saya alami ketika didatangi teman yang berniat belajar menulis adalah, bahwa ia berharap banyak hal dari menulis.
Daripada ia patah di tengah jalan, alangkah lebih baik jika ia dipatahkan sebelum bertarung. Kalau benar ia hendak bertarung, paling tidak ia sudah siap patah. Maksud saya, dipatahkan ekspektasi yang nyaris melampaui puncak Himalaya, konon tingginya lebih dari 8.849 meter di atas permukaan laut.
Semakin ke belakang siapapun akan paham. Paling tidak ia akan dipukul oleh realitas yang terhampar di depan mata. Kita butuh banyak dari menulis, sementara menulis seringkali tidak memberi itu. Beberapa tahun terakhir koran-koran menutup akses bagi penulis dengan banyak cara; mulai dari menutup rubriknya sampai tidak menyediakan honor. Bagi orang yang hendak mencurahkan gagasannya dengan ikhlas itu tidak akan pernah jadi masalah.
Sementara, bagi orang yang sejak sebelum menulis sudah berharap banyak, barangkali hal demikian adalah pukulan uppercut. Sudah saya katakan di tengah, tidak ada yang bisa diharapkan dari menulis. Akhirnya, kita hanya perlu melandaikan suara yang berisi potongan kata bijak ihwal menulis. Dan saya harus mengakui, bahwa pemula yang diceritakan di awal adalah saya sendiri.