Jalanhijrah.com – Titik terang pengesahan RUU PKS semakin Nampak jalannya ketika Selasa (18/1) lalu, rancangan regulasi tersebut resmi disahkan menjadi RUU inisatif DPR. Pengesahannya sendiri dilakukan pada rapat paripurna ke-13 masa sidang 2021-2022. Meski begitu aturan yang diharapkan menjadi paying hukum perlindungan seksual, ke depan akan melalui tahapan yang tidak sedikit hingga kemudian disahkan oleh DPR dan pemerintah menjadi UU.
Yang lebih miris, draf terakhir yang disampaikan justru banyak mengubah elemen-elemen penting yang terfokus pada pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasans eksual. Bagaimana tidak? Dari 128 pasal yang diajukan versi masyarakat sipil, tidak ada separuhnya yang masuk pada draf terakhir. Bahkan terkesan para legislator tidak mau ambil pusing dan tidak mencermati secara rinci apa sebenarnya tujuan awal diusulkannya RUU PKS. Kini, justru sudut pandang regulasi hanya menekankan pada penindakan terhadap pelaku, tanpa program antisipatif yang jauh lebih holistic dan komprehensif.
Lebih lanjut, isu ini bahkan dipolitisiasi oleh beberapa legislator dengan dalih tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan keyakinan beragama. Benarkah itu? Tunggu dulu, jika kita betul-betul membaca dengan seksama, tujuan pembentukan aturan ini malah menjunjung tinggi prinsip utama keduanya. Kehadiran Negara dan agama sejatinya memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok lemah tak berdaya, termasuk para korban kekerasan seksual yang selama ini hak-haknya termarjinalkan oleh penegakan hukum di negeri kita yang masih amat lemah.
Dalam Islam sendiri mereka yang lemah atau mustadh’afin dibela secara jelas dalam Al-Quran, rincinya terdapat dalam 13 ayat dalam 5 surat. Hal tersebut menandakan bahwa Al-Quran menyuarakan agar kaum Muslim untuk gigih berjuang dalam membela kebenaran, terutama ketikaadapihak yang lemah sedang ditindas oleh orang yang dzalim.
Tidak hanya itu, merujuk pada inti pembukaan UUD 1945 dan sila kelima Pancasila, Negara wajib mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tujuan memajukan kesejahteraan bangsa, termasuk di dalamnya mengupayakan pemulihan korban kekerasan seksual agar memperoleh kesempatan untuk memajukan diri dan berkontribusi dalam pembangunan, yang akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan bangsa.
Sayangnya poin-poin mendasar inilah yang justru tidak dipahami sepenuhnya oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahkan RUU PKS ‘dihantam’ dengan banyak isu-isu salah kaprah yang bertujuan untuk menghambat pengesahannya lebih cepat. Salah satunya mengatakan bahwa RUU PKS mempromosikan seks bebas dan melegalkan zina. Padahal faktanya RUU PKS berbicara dari perspektif korban kekerasan seksual, dan tidak ada satu pun pasal yang mendorong apalagi menggaungkan seks bebas maupun mengkriminalkan orientasi seksual.
Selain kekeliruan yang berkaitan dengan dukungan terhadap seks bebas dan LGBTQ, RUU PKS juga dituduh melegalkan zina. Sedangkan jika dibaca dengan baik-baik, RUU PKS tidak melegalkan atau mengatur zina karena tindak pidana ini telah diatur dalam pasal 284 KUHP. RUU PKS justru mengatur tindak pidana terhadap tubuh seseorang, sedangkan zina mengarah pada perkawinan dan moralitas individu.
Poin lainnya yang dipahami secara rancu adalah bagaimana RUU PKS yang dianggap diskriminatif dan hanya melindungi kelompok perempuan saja. Tentunya ini keliru besar. Jika merujuk data dari Komnas Perempuan, kita tidak dapat memungkiri bahwa mayoritas korban kekerasan seksual datang dari kaum hawa. Namun, pasal-pasal yang diajukan di dalamnya malah jauh lebih komprehensif karena RUU PKS melindungi seluruh korban kekerasan seksual baik itu dari kalangan perempuan maupun laki-laki.
Oleh karenanya, pengesahan RUU ini menjadi sangat urgen karena semua pihak berisiko terdampak. Bahkan jika melihat situasi yang ada, selama ini upaya pemulihan yang difasilitasi oleh pemerintah terhadap korban kekerasan seksual belumlah optimal. Para korban lebih banyak bergantung pada layanan dari komunitas sipil atau LSM yang membidangiisu tersebut. Tapi perlu disadari pula bahwa jumlah mereka sangatlah sedikit, dan tidak sebanding dengan jumlah korban yang semakin banyak.
Tidak jarang, korban yang tidak punya akses terhadap layanan pemulihan akhirnya, mengalami trauma dan penderitaan seumur hidup. Ada juga yang akhirnya memutuskan bunuh diri akibat tekanan pahit yang mereka alami. Dari latar belakang inilah, kita tidak bisa terus menerus menuding bahwa RUU PKS adalah produk kebarat-baratan dan tidak sesuai ideology bangsa.
Justru sebaliknya, RUU PKS memiliki tujuan mulia untuk mewujudkan perlindungan dasar kepada seluruh Warga Negara Indonesia untuk hidup aman, nyaman, tentram dan bahagia, serta bebas dari kekerasan seksual dimanapun berada.