Jalanhijrah.com – Sudah jamak diketahui, bahwasanya rangkaian ibadah puasa tidak hanya terbatas pada puasa wajib yang dilakukan di bulan Ramadhan saja. Lebih daripada itu, juga ada puasa sunah yang dapat dijalankan di hari-hari yang tidak dilarang untuk berpuasa.
Salah satunya, adalah puasa sunah selama enam hari di bulan Syawal. Puasa enam hari di bulan Syawal ini mengandung keutamaan yang amat agung. Diantaranya, seperti disebutkan dalam sebuah redaksi hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian melanjutkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka ia sama halnya dengan berpuasa selama setahun.” (HR Muslim)
Para ulama memberikan ragam interpretasi perihal maksud frasa “melanjutkan” dalam hadits di atas. Menurut satu pandangan, maksudnya adalah melakukan puasa sunah setelah hari raya sehingga puasa enam hari di bulan Syawal dapat dikerjakan semenjak tanggal dua Syawal secara berturut-turut hingga tanggal tujuh Syawal.
Akan tetapi, menurut pendapat lainnya, yang dimaksud adalah bulan Syawal itu sendiri sehingga puasa sunah bisa dilakukan di seluruh hari selama masih bulan Syawal tanpa harus dikerjakan secara berturut-turut.
Sementara di Indonesia, terdapat budaya bersilaturahim pasca Idul Fitri kepada sanak keluarga, kerabat, tetangga, dan handai taulan yang hal ini biasanya berlangsung hingga beberapa hari di permulaan bulan Syawal. Umumnya, saat berkunjung untuk silaturahim, tuan rumah mempersilakan tamunya untuk menyantap kudapan serta hidangan makanan.
Karena itu, tidak etis rasanya jika sampai mengabaikan suguhan yang disajikan oleh tuan rumah dengan alasan sedang melakukan puasa sunah. Berangkat dari fenomena ini, lantas timbul pertanyaan manakah yang lebih utama, melakukan puasa Syawal secara berturut-turut atau terpisah?
Pada dasarnya, puasa di bulan Syawal lebih utama dilakukan setelah hari raya secara berurutan selama enam hari. Kendati demikian, bila dipisah atau diakhirkan pengerjaannya juga tetap mendapatkan keutamaan dan pokok kesunahan.
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menyatakan:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
Artinya: “Ashab Asy-Syafi’i berkata: Yang paling utama adalah melakukan puasa selama enam hari secara berturut-turut pasca Idul Fitri. Maka apabila dipisah atau diakhirkan pelaksanaannya dari permulaan Syawal atau dilakukan di akhir Syawal, hal itu tetap mendapatkan keutamaan mutaba’ah (melanjutkan) karena sesungguhnya ia telah melanjutkan enam hari puasa di bulan Syawal.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi], vol. 8, h. 56)
Alasan lebih utama dan disunahkannya puasa Syawal secara berurutan setelah Idul Fitri adalah karena bersegera dalam beribadah mengandung unsur keutamaan ketimbang mengakhirkannya. Ilat ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi (wafat 1302 H) dalam anotasinya:
(قَوْلُهُ: مُبَادَرَةٌ لِلْعِبَادَةِ) عِلَةٌ لِأَفْضَلِيَةِ اتِّصَالِهَا بِيَوْمِ الْعِيْدِ، أَيْ وَإِنَّمَا كَانَ أَفْضَلُ لِأَجْلِ الْمُبَادَرَةِ فِيْ الْعِبَادَةِ. أَيْ وَلِمَا فِيْ الْتَّأْخِيْرِ مِنَ الْآفَاتِ
Artinya: “Perkataan: Bersegera untuk beribadah, merupakan alasan akan lebih utamanya melaksanakan puasa Syawal secara berturut-turut setelah Idul Fitri. Maksudnya, hal itu lebih utama sebab bersegera dalam ibadah dan mengakhirkannya mengandung petaka.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anah At-Thalibin [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 304)
Imam An-Nawawi, Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H) juga menyampaikan pernyataan senada mengenai kesunahan puasa Syawal baik dilakukan dengan cara memisah atau menyela-nyelainya. Menurutnya, lebih utama tetap dijalankan secara berturut-turut setelah hari raya Idul Fitri:
وَتَحْصُلُ الْسُّنَّةُ بِصَوْمِهَا مُتَفَرِّقَةً مُنْفَصِلَةً عَنْ يَوْمِ الْعِيْدِ لَكِنْ تَتَابُعُهَا وَاتِّصَالُهَا بِيَوْمِ الْعِيْدِ أَفْضَلُ وَتَفُوْتُ بِفَوَاتِ شَوَّالِ وَيُسَنُّ قَضَاؤُهَا
Artinya: “Dan hasil kesunahan puasa Syawal dengan cara dipisah atau disela-selai hari, akan tetapi melakukannya secara berturut-turut setelah hari raya Idul Fitri lebih utama. Kesunahan itu bisa hilang dengan berakhirnya bulan Syawal dan disunahkan untuk mengqadhainya.” (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, Nihayah Az-Zain Fi Irsyad Al-Mubtadiin [Beirut: Dar Al-Fikr], halaman 197)
Dengan demikian, dari pelbagai keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa kesunahan puasa enam hari di bulan Syawal lebih utama dilakukan setelah hari raya secara berurutan. Meski begitu, jika dipisah atau diakhirkan pengerjaanya maka tetap memperoleh keutamaan. Wallahu a’lam bisshawab.