Kebangkitan HTI (II): Khilafah Bukan Solusi Palestina!

Jalanhijrah.com-Pada tulisan sebelumnya, sudah saya uraikan bagaimana pendukung khilafah, saudara-saudara kita dari kalangan HTI, memanfaatkan konflik Palestina untuk mengglorifikasi khilafah. Alasannya sederhana: Islam tertindas, dan yang bisa mengatasi itu hanyalah penegakan negara Islam. Di Indonesia, suara-suara semacam itu muncul, salah satunya, dari ustaz Felix Siauw, sang dedengkot HTI.

Cara aktivis HTI menarasikan urgensi khilafah sebagai solusi Palestina tergolong propagandis. Felix mencoba ajak penonton untuk “paham sejarah”, kemudian ia menyeret mereka ke dalam rekaman historis ketika Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel. Atau lebih jauh lagi, ke masa saat Umar bin Khatab berhasil merebut Yerusalem dari Kekaisaran Byzantium pada abad ketujuh Masehi, atau enam tahun pasca-wafatnya Nabi Saw.

Ustaz Felix juga dengan apik menyuguhkan sejarah sebagai bukti kejayaan khilafah Islam, ketika Palestina berturut-turut berada di bawah kekuasaan umat Muslim, mulai dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Seljuk, Dinasti Fathimiyah, Dinasti Mamluk, dan Turki Usmani. Yang terakhir ini menguasai Palestina selama dua abad, yakni tahun 1516-1917, dan menjadi hujah andalan HTI tentang “kejayaan Islam di era khilafah”.

Namun, benarkah Palestina butuh khilafah untuk menyelesaikan konflik yang berkecamuk sejak lebih dari tujuh dekade lalu? Jawabannya adalah: tidak sama sekali. Alasannya, pertama, khilafah ala HTI itu tidak memiliki dasar nas yang kuat, hanya berdasarkan analisis para pengasongnya. Jadi, ia harus ditolak karena memanipulasi sejarah. Kedua, kalau khilafah yang mereka maksud adalah monarki, maka hari ini sudah bukan lagi eranya.

Baca Juga  Meluruskan Miskonsepsi Nalar Taghyir Pejuang Khilafah

Dukungan Pemerintah RI

Penting untuk memperhatikan bagaimana pemerintah RI konsisten dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Setelah Menlu RI Retno Marsudi pidato di PBB, beberapa pejabat hadir dalam aksi damai bela Palestina, baru-baru ini Jokowi juga mewakili OKI melakukan pertemuan bilateral dengan Joe Biden, Presiden AS, yang selama ini berada di balik okupasi zionis Israel atas Palestina.

Di antara hasil pertemuan Jokowi dengan Biden adalah larangan penyerangan RS di Palestina, seperti yang Israel lakukan beberapa waktu lalu. Terlepas dari inkonsistensi Biden nantinya, karena sebagaimana diketahui ia juga konsisten mendukung zionis sejak setengah abad silam, dukungan pemerintah RI terhadap Palestina berwujud nyata. Bahkan, lebih realistis dan berdampak, ketimbang narasi khilafah ala HTI.

Karenanya, mendukung dan mengapresiasi langkah pemerintah adalah suatu keniscayaan. Efeknya lebih riil dan tepat sasaran. Tidak sekadar berkoar-koar dengan flashback sejarah, terlebih sejarah itu sendiri telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologis HTI. Palestina wajib dibela demi kemanusiaan, maka segala dukungan untuk Palestina orientasinya adalah memperjuangkan hak asasi dan kedaulatan negara.

Apa yang para aktivis khilafah uraikan tentang urgensi khilafah sebagai solusi konflik Palestina, sepenuhnya, adalah hoaks. Sayangnya, propaganda HTI lebih masif sehingga apresiasi atas upaya-upaya pemerintah atas Palestina tertutupi sama sekali. Dalam konteks itu, para aktivis khilafah jelas diuntungkan. Parahnya lagi, masyarakat kerap tidak sadar bahwa mereka tengah diseret ke dalam propaganda khilafah, bukan bela Palestina.

Baca Juga  Perempuan Memimpin Salat; Kajian Hermeneutika Gadamer dan Qibtiyah

Menyikapi Ustaz Felix Siauw

Bahwa khilafah bukanlah solusi Palestina, itu sesuatu yang jelas. Meski demikian, seiring dengan lobi-lobi pemerintah di kancah internasional, penting juga untuk mendorong kesadaran umat Islam ihwal pentingnya mendukung kemerdekaan Palestina. Israel mesti dilawan karena tidak berperikemanusiaan. Stand with Palestine menjadi wajib karena humanisme, bukan khilafahisme. Ini wajib diingat.

Lantas, bagaimana menyikapi ustaz Felix? Sejujurnya, sebagai seorang pembaca dan pengkaji sejarah, ia jelas paham bahwa khilafah memang bukan solusi Palestina. Tetapi dirinya adalah petinggi HTI dengan doktrinnya tentang khilafah. Tugas menyuarakan khilafah, bagi seorang ustaz Felix, adalah tanggung jawab moral-ideologis. Ini ibarat orang NU menyuarakan Islam Nusantara—lumrah sebagai efek militansi kelompok.

Untuk itu, menyikapi ustaz Felix dan saudara-sudara HTI yang sehaluan dengannya, hanya dapat dilakukan melalui dua acara. Pertama, kontra-propaganda. Masyarakat perlu diberikan edukasi politik tentang konflik Palestina, bahwa tonggak masalahnya adalah zionisme. Jika Islam seolah terkesan diinjak-injak negara Barat, maka yang perlu dibenahi adalah peradaban keilmuannya, bukan politik kekuasaannya. Itu hanya propaganda belaka.

Kedua, persuasi nasionalisme. Palestina memang mesti dibela, tetapi menjadikan konflik tersebut sebagai momentum propaganda khilafah adalah eksploitasi konflik kemanusiaan. Ustaz Felix boleh jadi tidak dapat disalahkan, karena memang tugasnya sebagai aktivis khilafah adalah menyuarakan khilafahisme. Namun, Palestina dibela idealnya sebagai persuasi nasionalisme, bahwa memperjuangkan kedaulatan itu hukumnya wajib.

Baca Juga  Pengalaman Toleransi Agama dari Semarang: Saling Berkunjung di Hari Raya sampai Bebersih Vihara

Dengan demikian, intinya, khilafah bukanlah solusi Palestina, dan masyarakat mesti waspada dengan propaganda HTI tentang khilafah. Ustaz Felix tetaplah Felix. Ia tidak akan pernah membela pemerintah atau mengapresiasi langkah birokratis mereka dalam konflik Palestina. Namun, mengapa kita sebagai masyarakat Indonesia masih belum sadar dengan posisi dirinya sebagai pengasong khilafah yang tengah memanfaatkan konflik Palestina?

We stand for Palestine, but not for khilafah!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *