Jalanhijrah.com– FIFA memutuskan Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, Rabu ( 29/3) malam. Dalam keterangan tertulisnya, FIFA menyebutkan pembatalan tersebut disebabkan ‘situasi terkini’ di dalam negeri, sebagai hasil akhir pertemuan antara Presiden FIFA Gianni Infantino dan Presiden PSSI Erick Thohir. Banyak pihak yang kecewa dengan keputusan FIFA. Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon bahkan mengaku geram karena sangat politis.
“FIFA seharusnya bisa mengakomodasi kepentingan semua negara, termasuk memahami bahwa bagi sejumlah negara, terutama sebagian negara muslim, Israel bukan hanya sekedar isu olahraga, melainkan merupakan isu politik dan kemanusiaan yang serius. Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel, membuat FIFA punya standar ganda dalam politik sepakbola,” ujarnya, dilansir Detik .
Presiden Jokowi sendiri juga menyatakan mengecewakannya atas keputusan FIFA, namun ia menegaskan tetap menghormati keputusan tersebut. Tak hanya pemerintah eksekutif dan legislatif yang menunjukkan rasa kecewa, namun sejumlah organisasi sipil, bahkan pemain timnas Indonesia sendiri yang menumpahkan kekesalannya dengan menyerang akun Instagram GanjarPranowo—Gubernur Jawa Tengah yang ikut menolak kedatangan Israel ke Indonesia.
Meski demikian, ‘situasi terkini’ yang dimaksud FIFA menjadi alasan penghapusan Indonesia sebagai tuan rumah lumayan menarik. Dari sejumlah kalangan yang menolak, bersalah ada dua: ‘konsisten terhadap konstitusi’ dan ‘menolak musuh Islam’. Tetapi dua alasan tersebut sama sekali ambigu karena justru bertentangan dengan cita-cita olahraga nasional. Karena itu menarik untuk ditanyakan, apakah perlawanan kongkalikong tersebut murni demi NKRI atau memang konflik nasionalis-radikalis?
Koalisi Nasionalis-Radikalis?
Rentetan penolakan tidak datang dari satu kelompok. Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menolak timnas Israel. Negosiasi pada FIFA pun tidak berhasil dan Piala Dunia U-20 akhirnya gagal digelar di Indonesia—disertai kekesalan timnas muda Indonesia karena juga gagal bertanding. Tidak berlebihan jika kemudian sementara kalangan menganggap kegagalannya U-20 adalah pupusnya harapan masa depan sepak bola nasional.
Menariknya, jika diamati barisan penolak kedatangan timnas Israel, di situ terdapat dua kubu yang selama ini berseberangan malah satu baris. PDI-P dan PKS, misalnya. Atau katakanlah Ganjar dengan PA 212. Artinya antara memperjuangkan keunggulan dan menyemarakkan radikalisme, dalam kasus U-20, tidak ada sekat kecuali dengan melihat wawasan kebangsaan yang bersangkutan secara menyeluruh. Lagi pula kaum nasionalis dan radikalis tidak mungkin bersatu.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, setelah penolakan tersebut membuahkan hasil dengan gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah, siapa yang patut dianggap menang: nasionalis atau radikalis? Jika nasionalis yang menang, patut diantisipasi mengapa justru banyak yang berkabung bahwa negara ini sudah gagal dalam sepakbola. Namun jika radikalis yang menang, patut juga ditanyakan mengapa masyarakat banyak yang ikut gembira, apakah mereka terpapar?
Satu hal yang pasti, apa yang terjadi hari ini tidak bisa lagi terjadi di masa depan. Politik biar menjadi politik, dan olahraga biarlah demikian. Ia punya aturannya sendiri. Saat ini, Indonesia seperti tidak punya marwah sebagai negara berdaulat tatkala FIFA menyingkirkan negara ini sebagai tuan rumah U-20 bertahan sehari setelah Presiden RI mengumumkan kesediannya Israel hadir. Semua ini ulah kaum radikalis yang grasah-grusuh dan segelintir kaum nasionalis yang suka mengekor.
Populisme Akan Marak Lagi?
Ini yang tak kalah menarik. Benarkah setelah ini populisme akan kembali merebak? Secara, kaum populis merasa sesumbar setelah aksi demo dan ancaman boikot mereka berhasil membuat FIFA mengurungkan niatnya untuk menggelar Piala Dunia U-20 di Indonesia. Karena dirasa efektif, mereka akan menjadikan demo sebagai senjata politik—dengan mempertentangkan kebijakan nasional dengan Islam. Para populis tersebut, sekalipun kekuatannya kecil, sangat berisi.
Belum dapat dipastikan apakah aksi-aksi demo akan menandai sebagai tanda kebangkitan kembali populisme Islam. Namun yang jelas, jika itu terjadi, radikalisme di ambang kemenangan dan kerugian NKRI justru terancam oleh rakyat itu sendiri. bereaksi dalam menanggapi kalangan U-20 kalangan nasionalis dan radikalis ada yang searah, namun faktanya yang mengancam negara ini bukan Israel, melainkan radikalis-populis yang menjadikan Israel sebagai umpan belaka.
Karena itu cukuplah gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 sebagai pelajaran bahwa nasionalisme di atas segalanya. Ia melampaui sentimen politik-ideologis yang hanya memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Di masa depan, jika kesempatan emas datang lagi, para radikalis tidak boleh diberi panggung. Siapapun yang menggelar demo, maka ia menghalang-halangi kepentingan nasional dan aparat keamanan berhak untuk menertibkannya.
Tidak ada ruang bagi populisme. Begitu pun radikalisme, ia tidak bisa dibiarkan memiliki panggung karena akan memprovokasi masyarakat dengan pemerintah. Negara ini berdaulat bila kiprahnya di ranah internasional diakui semua negara, bukan dengan memberi ruang pada populis-populis kecil yang hanya menempatkan kelompoknya sendiri. Kedaulatan NKRI tidak hilang karena Israel bertandang ke Indonesia. Justru, negara ini akan hilang warisannya kalau radikalisme diberi kemenangan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
*Penulis: Ahmad Khoiri-Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta